Mereka - Kei dan Kira - duduk di atas trotoar sebuah jalan pada sebuah taman dibilangan Sentul. Taman yang menghadap pada perbukitan di depan mata mereka. Sembari menyantap kentang goreng yang Kei beli dari seorang ibu-ibu yang berjualan dengan gerobak sederhana dari jalan yang mereka lalui sebelumnya. Sesekali Kei mengambil gambar 'lukisan' Yang Maha Agung dengan Scooby-nya - kamera kesayangan - yang selalu bersamanya kemana pun dirinya pergi dan diberi nama Scooby.
"Kau suka memotret?" tanya Kira dengan santai. Membiarkan embusan angin meniupkan helaian-helaian rambutnya yang tidak terikat dengan karet rambut.
"Suka? Hm...mungkin lebih tepat jika dikatakan aku sangat mencintai memotret." jawab Kei sembari melihat hasil potretannya pada Scooby.
"Pasti rasanya menyenangkan sekali melalukan pekerjaan yang memang kau cintai." ujar Kira. Matanya memandang lurus dan sendu pada hamparan perbukitan di depan mereka.
"Yeah...begitu lah..." sahut Kei, sambil kembali mengangkat Scooby ke depan matanya.
Kira mendesah pelan.
Kei, tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk mengambil gambar lagi, dia diam-diam malah mengambil gambar Kira yang duduk di sebelahnya itu. Bahkan saat terdengar bunyi shuter, Kira tidak merespon seperti biasanya. Marah-marah dan meminta atau memaksa Kei untuk menghapusnya. Kali ini, Kira diam saja.
Kei menurunkan kamera, melihat perempuan itu. Ada yang aneh padanya hari ini. Kira tidak seperti biasanya. Tidak ada sorot galak, sindirian-sindiran sinis yang selalu menjadi andalannya dan sikap optimisme yang selalu terlukis jelas pada setiap tingkahnya. Sore ini, Kira terlihat begitu...sendu.
Jadi, Kei memutuskan untuk memasukkan Scooby ke dalam tas. Mengambil sepotong kentang goreng yang sudah tak lagi terlalu panas. Kemudian berkata, "Aku tidak akan bilang 'Do what you love. Love what you do.' seperti yang sering dikatakan orang-orang bijak. Well, selain aku memang bukan orang yang bijak, aku tahu bahwa kalimat itu tidak terlalu ampuh pada realita yang dihadapi."
Kira tersenyum tipis mendengar ucapan Kei.
"Tapi mungkin aku bisa katakan bahwa semua yang kau inginkan hanyalah masalah waktu. Jika memang sudah waktunya, bukan hanya yang paling kau inginkan, hal yang paling kau butuhkan pun akan kau dapatkan, selama kau tidak menyerah."
Kira melihat Kei dengan heran bercampur sedikit takjub, "Kau bilang dirimu itu bukan orang bijak?"
Lelaki itu menunjukkan cengiran khasnya, "Aku bijak dengan gayaku sendiri."
Mereka tertawa.
Duduk bersama, hanya dibatasi sebungkus kentang goreng dan tas kamera, sambil menikmati pemandangan dan angin sore yang bertiup sepoi-sepoi tanpa ada perdebatan merupakan sebuah keajaiban yang terjadi antara Kei dan Kira.
"Omong-omong, saat tanganku terluka waktu itu, dari mana kau tahu cara menghentikan darahnya sebelum kau membawaku ke rumah sakit? Kau bahkan bilang, jika saja ada alatnya, kau mungkin langsung menjahit lukaku saat itu juga. Apa kau pernah jadi dokter cilik saat sekolah dulu?" tanya Kei. Rasa penasaran itu sudah lama menggelayutinya. Dengan sikap Kira yang selalu dingin, sinis, galak, rasanya hampir mengejutkan bahwa perempuan itu berniat menjahit luka pada tangan Kei beberapa waktu lalu.
"Aku kuliah kedokteran." jawab Kira tanpa melihat Kei.
"Benarkan? Wow!" Kei benar-benar terkejut kali ini. "Lalu, kenapa kau tidak bekerja di rumah sakit seperti kebanyakan mahasiswa kedokteran yang sudah lulus?"
"Perusahaan ayahku bangkrut. Semua aset hingga rumah tinggal kami disita oleh Bank. Kemudian ayah meninggal dengan mewariskan hutang disana-sini. Jadi aku sebagai anak sulung memutuskan untuk tidak meneruskan kuliahku dan mulai mencari uang. Itu sebabnya aku tidak bekerja di rumah sakit." jawab Kira, dengan begitu datar dan tanpa ekspresi. Sementara Kei, merasa hatinya begitu teremas mendengar cerita super singkat kehidupan yang dilalui perempuan galak itu.
"I'm sorry to hear that." ujar Kei dengan begitu tulus. "Pasti rasanya begitu sulit bagimu untuk kehilangan semua. Harta, ayahmu, juga mimpimu."
"Ayah selalu mengajarkan untuk tidak terlena dengan kehidupan kami saat itu, jadi saat roda berputar dan kami terpuruk, aku sudah siap. Kepergian ayah yang paling sulit aku terima. Dan kehilangan mimpiku?" Kira tersenyum masam. "Lebih tepatnya kehilangan mimpi ayahku. Ambisinya yang tidak pernah tercapai yang dia turunkan...eh bukan...yang dia paksakan padaku, tidak terlalu sulit melepaskannya, kalau aku boleh jujur, justru aku merasa sedikit lega."
Kei mengangguk. Mengambil lagi sepotong kentang.
"Kau beruntung Kei, sepertinya orang tuamu tidak memaksakan ambisi mereka padamu. Mereka pasti sangat memahamimu."
Alih-alih membenarkan ucapan Kira, lelaki itu malah tertawa. Bukan tertawa geli, tawanya bahkan terdengar hambar.
"Jadi apa sebenarnya mimpimu?" Kei bertanya, mengalihkan perhatian Kira dari pikiran tentang betapa Kei begitu beruntung.
"Hm...aku selalu ingin menciptakan karya seniku sendiri. Sama sepertimu dengan memotret, aku juga sangat mencintai melukis. Suatu hari, aku ingin mempunyai studio seni lukisku sendiri. Membuka pameran hasil-hasil tanganku. Rasanya pasti indah saat karya yang kau buat dengan cinta juga dicintai dan dihargai orang lain." jawab Kira dengan senyum yang mengembang pada wajahnya. Sendu yang awal tadi Kei lihat tiba-tiba lenyap saat membicarakan soal mimpinya sebagai pelukis.
"Ya, kau benar. Rasanya indah." Kei membenarkan. Dia tentu saja pernah mengalami hal itu. Dia bukan hanya seorang fotografer yang hanya bisa memotret. Dia seorang seniman. Setiap hasil yang dipotretnya selalu menunjukkan seolah gambar-gambar yang diambilnya memiliki cerita, memiliki emosi, memiliki jiwa. Dia telah menerima banyak pujian dan penghargaan atas bakatnya itu. Tapi, hanya satu orang, ya, satu orang yang tidak menganggap bakat Kei bukanlah apa-apa.
"Pasti menyenangkan menjadi dirimu. Kau memiliki segalanya. Orang tua yang begitu mengerti dirimu. Pekerjaan yang kau cintai. Hidupmu pasti begitu nyaman." ujar Kira.
Kei hanya tersenyum. Lagi-lagi enggan untuk mengomentari.
"Lalu, dari sekian banyak hal yang ada, apa yang paling suka kau lukis?" tanya Kei. Pertanyaan yang diajukan untuk mengalihkan pikiran Kira tentang betapa nyamannya hidup yang dijalani Kei.
"Bunga." jawab Kira dengan senyum lebar.
Kei menaikkan kedua alis matanya. Menatap Kira dengan tidak percaya. Tidak percaya dengan jawaban perempuan itu, dan tidak percaya bahwa perempuan yang selalu galak padanya itu tersenyum begitu lebar.
"Kenapa melihatku seperti itu?" cetus Kira. Senyum lebarnya seketika menguap.
"Aku...hanya tidak percaya saja dengan jawabanmu. Well, dengan penampilanmu yang seperti ini, aku akan lebih percaya jika kau bilang lebih suka melukis sesuatu yang abstrak dari pada melukis bunga. Ck, bunga? Yang benar saja!" Kei tergelak kemudian. Disusul dengan pukulan-pukulan dari Kira yang mendarat pada lengan Kei.
"Oh ya, ditambah lagi dengan kegalakanmu itu, apa kau benar-benar yakin mimpimu itu sebagai pelukis? Bukan tentara?" Lanjut Kei membuat Kira semakin melotot. Semakin keras pukulan Kira, semakin kencang gelak tawa lelaki itu. Tentu saja pukulan-pukulan Kira hanya seperti usapan pengantar tidur.
Sore itu, saat langit mulai kejinggaan, pada akhirnya Kira pun turut tertawa bersama Kei. Mereka untuk pertama kalinya, tertawa bersama.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Haiiiiii....apa kabar? It's been a long....long...long time since the last time I wrote. Here I'm back again. :)
Cerita di atas tadi tentang lelaki bernama Kei dan perempuan bernama Kira. Saya menuliskan mereka saat tidak sengaja mereka masuk ke dalam kotak ide saya. Jadi sebelum mereka pergi, saya putuskan untuk menuliskan sepenggal kisa mereka. Jadi, jika waktunya sudah tiba, saya akan mulai menuliskan kisah bagaimana mereka bertemu dan bagaimana perjalanan mereka selanjutnya.
Seperti yang dikatakan Kei di atas, "Tapi mungkin aku bisa katakan bahwa semua yang kau inginkan hanyalah
masalah waktu. Jika memang sudah waktunya, bukan hanya yang paling kau
inginkan, hal yang paling kau butuhkan pun akan kau dapatkan, selama kau
tidak menyerah."
So, it's all about time, right?
:)
PS: Never Give Up On Your Dream.





