Halaman

Jumat, 03 Maret 2017

Never Give Up

Mereka - Kei dan Kira - duduk di atas trotoar sebuah jalan pada sebuah taman dibilangan Sentul. Taman yang menghadap pada perbukitan di depan mata mereka. Sembari menyantap kentang goreng yang Kei beli dari seorang ibu-ibu yang berjualan dengan gerobak sederhana dari jalan yang mereka lalui sebelumnya. Sesekali Kei mengambil gambar 'lukisan' Yang Maha Agung dengan Scooby-nya - kamera kesayangan - yang selalu bersamanya kemana pun dirinya pergi dan diberi nama Scooby.

"Kau suka memotret?" tanya Kira dengan santai. Membiarkan embusan angin meniupkan helaian-helaian rambutnya yang tidak terikat dengan karet rambut.

"Suka? Hm...mungkin lebih tepat jika dikatakan aku sangat mencintai memotret." jawab Kei sembari melihat hasil potretannya pada Scooby.

"Pasti rasanya menyenangkan sekali melalukan pekerjaan yang memang kau cintai." ujar Kira. Matanya memandang lurus dan sendu pada hamparan perbukitan di depan mereka.

"Yeah...begitu lah..." sahut Kei, sambil kembali mengangkat Scooby ke depan matanya.

Kira mendesah pelan.

Kei, tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk mengambil gambar lagi, dia diam-diam malah mengambil gambar Kira yang duduk di sebelahnya itu. Bahkan saat terdengar bunyi shuter, Kira tidak merespon seperti biasanya. Marah-marah dan meminta atau memaksa Kei untuk menghapusnya. Kali ini, Kira diam saja.

Kei menurunkan kamera, melihat perempuan itu. Ada yang aneh padanya hari ini. Kira tidak seperti biasanya. Tidak ada sorot galak, sindirian-sindiran sinis yang selalu menjadi andalannya dan sikap optimisme yang selalu terlukis jelas pada setiap tingkahnya. Sore ini, Kira terlihat begitu...sendu.

Jadi, Kei memutuskan untuk memasukkan Scooby ke dalam tas. Mengambil sepotong kentang goreng yang sudah tak lagi terlalu panas. Kemudian berkata, "Aku tidak akan bilang 'Do what you love. Love what you do.' seperti yang sering dikatakan orang-orang bijak. Well, selain aku memang bukan orang yang bijak, aku tahu bahwa kalimat itu tidak terlalu ampuh pada realita yang dihadapi."

Kira tersenyum tipis mendengar ucapan Kei.

"Tapi mungkin aku bisa katakan  bahwa semua yang kau inginkan hanyalah masalah waktu. Jika memang sudah waktunya, bukan hanya yang paling kau inginkan, hal yang paling kau butuhkan pun akan kau dapatkan, selama kau tidak menyerah."

Kira melihat Kei dengan heran bercampur sedikit takjub, "Kau bilang dirimu itu bukan orang bijak?"

Lelaki itu menunjukkan cengiran khasnya, "Aku bijak dengan gayaku sendiri."

Mereka tertawa.

Duduk bersama, hanya dibatasi sebungkus kentang goreng dan tas kamera, sambil menikmati pemandangan dan angin sore yang bertiup sepoi-sepoi tanpa ada perdebatan merupakan sebuah keajaiban yang terjadi antara Kei dan Kira.

"Omong-omong, saat tanganku terluka waktu itu, dari mana kau tahu cara menghentikan darahnya sebelum kau membawaku ke rumah sakit? Kau bahkan bilang, jika saja ada alatnya, kau mungkin langsung menjahit lukaku saat itu juga. Apa kau pernah jadi dokter cilik saat sekolah dulu?" tanya Kei. Rasa penasaran itu sudah lama menggelayutinya. Dengan sikap Kira yang selalu dingin, sinis, galak, rasanya hampir mengejutkan bahwa perempuan itu berniat menjahit luka pada tangan Kei beberapa waktu lalu.

"Aku kuliah kedokteran." jawab Kira tanpa melihat Kei.

"Benarkan? Wow!" Kei benar-benar terkejut kali ini. "Lalu, kenapa kau tidak bekerja di rumah sakit seperti kebanyakan mahasiswa kedokteran yang sudah lulus?"

"Perusahaan ayahku bangkrut. Semua aset hingga rumah tinggal kami disita oleh Bank. Kemudian ayah meninggal dengan mewariskan hutang disana-sini. Jadi aku sebagai anak sulung memutuskan untuk tidak meneruskan kuliahku dan mulai mencari uang. Itu sebabnya aku tidak bekerja di rumah sakit." jawab Kira, dengan begitu datar dan tanpa ekspresi. Sementara Kei, merasa hatinya begitu teremas mendengar cerita super singkat kehidupan yang dilalui perempuan galak itu.

"I'm sorry to hear that." ujar Kei dengan begitu tulus. "Pasti rasanya begitu sulit bagimu untuk kehilangan semua. Harta, ayahmu, juga mimpimu."

"Ayah selalu mengajarkan untuk tidak terlena dengan kehidupan kami saat itu, jadi saat roda berputar dan kami terpuruk, aku sudah siap. Kepergian ayah yang paling sulit aku terima. Dan kehilangan mimpiku?" Kira tersenyum masam. "Lebih tepatnya kehilangan mimpi ayahku. Ambisinya yang tidak pernah tercapai yang dia turunkan...eh bukan...yang dia paksakan padaku, tidak terlalu sulit melepaskannya, kalau aku boleh jujur, justru aku merasa sedikit lega."

Kei mengangguk. Mengambil lagi sepotong kentang.

"Kau beruntung Kei, sepertinya orang tuamu tidak memaksakan ambisi mereka padamu. Mereka pasti sangat memahamimu."

Alih-alih membenarkan ucapan Kira, lelaki itu malah tertawa. Bukan tertawa geli, tawanya bahkan terdengar hambar.

"Jadi apa sebenarnya mimpimu?" Kei bertanya, mengalihkan perhatian Kira dari pikiran tentang betapa Kei begitu beruntung.

"Hm...aku selalu ingin menciptakan karya seniku sendiri. Sama sepertimu dengan memotret, aku juga sangat mencintai melukis. Suatu hari, aku ingin mempunyai studio seni lukisku sendiri. Membuka pameran hasil-hasil tanganku. Rasanya pasti indah saat karya yang kau buat dengan cinta juga dicintai dan dihargai orang lain." jawab Kira dengan senyum yang mengembang pada wajahnya. Sendu yang awal tadi Kei lihat tiba-tiba lenyap saat membicarakan soal mimpinya sebagai pelukis.

"Ya, kau benar. Rasanya indah." Kei membenarkan. Dia tentu saja pernah mengalami hal itu. Dia bukan hanya seorang fotografer yang hanya bisa memotret. Dia seorang seniman. Setiap hasil yang dipotretnya selalu menunjukkan seolah gambar-gambar yang diambilnya memiliki cerita, memiliki emosi, memiliki jiwa. Dia telah menerima banyak pujian dan penghargaan atas bakatnya itu. Tapi, hanya satu orang, ya, satu orang yang tidak menganggap bakat Kei bukanlah apa-apa.

"Pasti menyenangkan menjadi dirimu. Kau memiliki segalanya. Orang tua yang begitu mengerti dirimu. Pekerjaan yang kau cintai. Hidupmu pasti begitu nyaman." ujar Kira.

Kei hanya tersenyum. Lagi-lagi enggan untuk mengomentari.

"Lalu, dari sekian banyak hal yang ada, apa yang paling suka kau lukis?" tanya Kei. Pertanyaan yang diajukan untuk mengalihkan pikiran Kira tentang betapa nyamannya hidup yang dijalani Kei.

"Bunga." jawab Kira dengan senyum lebar.

Kei menaikkan kedua alis matanya. Menatap Kira dengan tidak percaya. Tidak percaya dengan jawaban perempuan itu, dan tidak percaya bahwa perempuan yang selalu galak padanya itu tersenyum begitu lebar.

"Kenapa melihatku seperti itu?" cetus Kira. Senyum lebarnya seketika menguap.

"Aku...hanya tidak percaya saja dengan jawabanmu. Well, dengan penampilanmu yang seperti ini, aku akan lebih percaya jika kau bilang lebih suka melukis sesuatu yang abstrak dari pada melukis bunga. Ck, bunga? Yang benar saja!" Kei tergelak kemudian. Disusul dengan pukulan-pukulan dari Kira yang mendarat pada lengan Kei.

"Oh ya, ditambah lagi dengan kegalakanmu itu, apa kau benar-benar yakin mimpimu itu sebagai pelukis? Bukan tentara?" Lanjut Kei membuat Kira semakin melotot. Semakin keras pukulan Kira, semakin kencang gelak tawa lelaki itu. Tentu saja pukulan-pukulan Kira hanya seperti usapan pengantar tidur.

Sore itu, saat langit mulai kejinggaan, pada akhirnya Kira pun turut tertawa bersama Kei. Mereka untuk pertama kalinya, tertawa bersama.


----------------------------------------------------------------------------------------------

Haiiiiii....apa kabar? It's been a long....long...long time since the last time I wrote. Here I'm back again. :) 
Cerita di atas tadi tentang lelaki bernama Kei dan perempuan bernama Kira. Saya menuliskan mereka saat tidak sengaja mereka masuk ke dalam kotak ide saya. Jadi sebelum mereka pergi, saya putuskan untuk menuliskan sepenggal kisa mereka. Jadi, jika waktunya sudah tiba, saya akan mulai menuliskan kisah bagaimana mereka bertemu dan bagaimana perjalanan mereka selanjutnya. 
Seperti yang dikatakan Kei di atas, "Tapi mungkin aku bisa katakan  bahwa semua yang kau inginkan hanyalah masalah waktu. Jika memang sudah waktunya, bukan hanya yang paling kau inginkan, hal yang paling kau butuhkan pun akan kau dapatkan, selama kau tidak menyerah."

So, it's all about time, right?
:)

PS: Never Give Up On Your Dream.

Selasa, 20 Januari 2015

Hei

Hei, sudah tujuh bulan sejak terakhir saya menuliskan cerita tentang 'Bunda Untuk Rena', saya belum lagi memposting cerita di sini. Sekarang, saya kembali lagi, dengan tampilan baru (lagi) dan berharap bisa kembali membagi cerita untuk mereka yang ingin membaca atau tidak, untuk mereka yang sengaja membuka laman blogger ini atau tidak sengaja. :)

Mungkin bukan sekarang atau bukan juga besok saya akan menulis cerita. Belum. Saya sedang 'menyembuhkan' diri saya terlebih dahulu. Setelah itu, kita lihat seberapa sering Si Ide dan Si Inspirasi akan mengunjungi saya kembali. :)

Warm Hug,
-K-

Jumat, 20 Juni 2014

Bunda untuk Rena.

here
Gadis kecil itu mengangkat tangan kurusnya yang rapuh, merasakan butir-butir hujan yan turun dari langit menyentuh kulit tangannya. Dia menyukai hujan, selalu menyukai hujan. Ah, ada yang dinantinya setelah hujan usai, pelangi. Dia tidak pernah bosan menantikan munculnya warna-warna indah yang melengkung menghiasi langit. Rambutnya yang sepanjang bahu basah karena hujan, helai-helai rambut menempel pada keningnya. Senyumnya selalu merekah, menunjukkan bagian baris depan gigi susunya. Matanya selalu bulat dan penuh harap setiap kali hujan turun.

Rena, gadis yang baru saja menginjak usia enam tahun dalam hidupnya. Namun, gadis itu tidak pernah sedikit pun terlihat bersedih. Dia selalu tertawa, tersenyum, bernyanyi. Gadis itu tidak pernah berhenti berharap.

Aku mempunyai kesempatan untuk bertaya kepadanya, suatu hari. Kami, aku dan gadis kecil itu duduk di dalam sebuah ruangan yang nyaman. Pada diding sisi kiriku, terdapat perapian dengan api yang menyala kecil, cukup menghangatkan suhu yang berada di bawah telapak kakiku yang tanpa alas. Di sisi kananku, terdapat jendela besar yang terkunci, sedang hujan deras di luar. Mata gadis tidak hentinya memandang keluar.

"Apa yang kau lihat?" tanyaku.

"Hujan." jawabnya, tanpa menolehkan kepalanya kepadaku.

"Ada yang menarik dari hujan?" tanyaku lagi. Aku penasaran, mengapa gadis itu menyukai hujan. Karena yang aku tahu, hujan hanyalah ratusan, mungkin ribuah liter air yang turun dari gumpalan awan, yang kemudian menghentikan beberapa aktifitas, menghambat perjalanan dan macam lain halnya.

Aku, tidak terlalu suka hujan.

"Pelangi." jawabnya. Kini, matanya beradu pandang dengan mataku. Matanya bulat berwarna madu, semakin melengkapi penampilan manis pada wajahnya.

"Pelangi?" Kuulangi perkataannya. Dia mengangguk. "Jadi kau hanya tertarik pada pelangi? Bukan pada hujannya?"

"Pelangi muncul setelah hujan. Rena suka hujan dan pelangi." katanya dengan manis.

"Oke, jadi kau menyukai hujan karena ada pelangi setelahnya. Lalu apa yang kau suka dari pelangi?"

"Pelangi itu cantik." jawabnya. "Seperti bunda."

Aku memajukan tubuhku beberapa senti untuk melihatnya lebih dekat. Gadis itu menatapku dengan sepasang mata madunya tanpa takut-takut. Ah, ini menarik. Dari beberapa anak yang sebelumnya berada di posisi Rena saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang menyinggung tentang orang tua. Kebanyakan, mereka anak-anak yang pemurung, pendiam, tertutup, tidak terlalu bersikap baik, tidak banyak yang bisa kutanya dari mereka. Namun, gadis ini, Rena, dia begitu menarik.

"Seperti bunda? Kau tahu siapa bundamu? Maksudku, apa bundamu pernah datang?"

Dia menggeleng, namun dia menyulam senyum pada bibir mungilnya.

"Tapi Rena yakin, bunda Rena sangat cantik, seperti pelangi."

***
here
Sejak pertama kali pramusaji meletakkan mug putih berisi cairan hitam pekat kopi di atas mejanya, wanita itu tidak menyentuhnya apa lagi meminumnya. Kurasa, kopi dalam cangkir itu tidak lagi panas, sudah dingin, mungkin. Perhatian wanita itu tercuri oleh hujan di luar kedai kopi.

Aku menghabiskan waktu-waktuku beberapa minggu belakangan ini di kedai kopi ini, seusai ngobrol dengan Rena dan kawan-kawannya. Anak-anak itu menjadi bahan skripsiku. Anak-anak yatim piatu yang tidak pernah tahu seperti apa rupa seseorang yang telah melahirkannya. Selama beberapa minggu ini pula, aku selalu melihat wanita itu duduk di sana, pada meja yang terletak di sudut ruangan dekat dengan jendela berkusen kayu coklat gelap. Dia selalu menikmati kopinya dengan tenang. Namun jika hujan tiba-tiba turun, dia akan melupakan apapun yang ada di hadapannya. Seperti ada sesuatu pada setiap tetesan air hujan yang turun yang begitu mencuri perhatiannya. Aku sering memerhatikannya, bahkan sampai Cappuccino milikku juga dingin.

Terkadang kulihat dia memainkan sesuatu yang melingkar pada leher jenjangnya, semacam liontin pada kalungnya.

"Skripsimu tidak akan selesai jika kau terus melamun seperti itu." Suara berat milik Dante menyadarkanku. Pemuda kurus, yang senang sekali berkelakar. Dia sahabatku. Dia yang memberikanku ide untuk mengambil anak-anak yatim piatu sebagai bahan untuk skripsiku.

"Aku tidak melamun. Aku sedang mengamati." kilahku.

"Oh ya? Apa yang kau amati? Sesuatu atau seseorang?"

"Seseorang."

"Oh, kau membuatku cemburu." katanya sambil pura-pura memukul dadanya.

"Tidak lucu." Aku kembali fokus pada layar komputer lipat di hadapanku.

"Hek, apa ini? Cappucino-mu sampai dingin begini." Protes Dante saat-seperti biasa-dia meminum Cappucino-ku seenaknya. "Akan kupesankan lagi Cappucino baru." Dia bangkit dari kursi menghampiri bar.

Rena.

Sementara itu pikiranku tiba-tiba mengingat Rena. Gadis manis bermata madu.

"Ah, kau melamun lagi." Dante kembali memeregokiku yang melamun. Dia datang dengan dua mug putih dengan Cappucino yang masih panas. "Omong-omong, bagaimana perkembanganmu dengan anak-anak di panti?"

"Baik sekali. Ada satu anak yang sangat menarik perhatianku."

Oh, ya," Dante melebarkan kedua matanya. "Ceritakanlah."

Dan aku mulai menceritakan tentang Rena, gadis kecil bermata madu.

***

Rabu, 07 Mei 2014

Aku Takut Aku Mati Rasa, Tuhan.

Terkadang pengalaman di masa lalu adalah sesuatu yang paling menghantui. Dia sudah berusaha untuk tetap berdiri hingga detik ini untuk tetap terlihat biasa saja, dengan senyum yang tetap terpeta, dengan tawa yang tetap terdengar nyaring, dan jenaka yang selalu dia lakukan, sambil berjalannya waktu pun belajar untuk kembali membuka hati, setelah sekian lama dia biarkan tertutup rapat karena rasa takut dan trauma yang pernah menyelimutinya. Rasa ketidakpercayaan yang menguasainya pelan-pelan tersurut walaupun tidak benar-benar habis. 

Dia tidak ingin menjadi manusia yang mati rasa. Tidak ingin tidak merasakan kebahagiaan yang sering diceritakan oleh teman-temannya. Sampai pada akhirnya, dia menguatkan hatinya untuk membukanya kembali, walaupun tidak selebar dulu, paling tidak cukup untuk secercah cahaya masuk yang menerangi sudut-sudut hatinya yang mulai lembab dan dingin.

Dia bertemu dengan beberapa orang. Orang-orang yang mampu mengembalikan lagi harapan yang selama ini dia anggap tidak akan ada lagi untuk dirinya setelah terakhir kalinya dia terjembab karena seseorang yang menghancurkan hidupnya atas nama cinta. Dia tidak lagi mengharapkan harapan apapun untuk hidupnya. Tapi pertemuannya dengan orang itu, merubah sesuatu dalam dirinya, walaupun belum sepenuhnya. Dia kembali percaya, dia kembali terbuka, dia kembali yakin bahwa harapan untuk hidupnya masih ada sinar.

Tapi, ya, masih ada tapi...

Sinar itu hanya bertahan sebentar saja, ya, hanya sebentar.

Tawanya kembali hilang, senyum kembali meredup seperti lilin yang mulai habis daya.

Dia kembali masuk ke dalam kotak gelap, usang dan lembab itu.

Ketidakpercayaan kembali menguasainya.

Dia tidak ingin lagi keluar dari sana, karena yang dia tahu, di luar sana hanya ada kebohongan, kepalsuan, dan harapan yang selalu berakhir sia-sia dan menelantarkan dirinya.

Seharusnya dia tidak pernah lagi percaya pada para pembual. Harusnya, pengalaman masa lalunya memberikan peringatan tentang para pembual yang mengatasnamakan cinta.

Cinta itu omong kosong! Dia menjerit.

Dingin. Hanya itu yang dia rasakan.

Dia tidak ingin keluar. Dia tidak ingin bertemu. Sendiri lebih baik.

Tapi, ya, masih ada tapi...

Dia juga takut mati rasa.

Dia takut tidak lagi bisa merasakan hangatnya sinar matahari atau dinginnya udara malam yang disertai hujan.

Dia takut mati rasa, namun tetap hidup.

Dia takut mati rasa karena rasa sakit yang menumpuk.

Dia takut, Tuhan. Dia takut, sebenarnya.

~K~

Gambar ambil dari sini

Minggu, 02 Februari 2014

Meet Lorna.


Jalanan saat itu padat, dan bertambah padat karena beberapa pengendara sepeda motor dan pejalan kaki serta beberapa penduduk di sekitar jalan itu mengerumuni seseorang yang masih duduk di pinggir jalan dengan lengah terluka dan berdarah, masih setengah shock namun cukup sadar bahwa dirinya baru saja terserempet dan terjatuh ke atas aspal yang keras dan kasar.

Orang yang dikerumuni itu, aku. Ya, aku yang kini menjadi sorotan kasihan, prihatin, dan yang hanya sekedar ingin tahu dari orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, dan semakin lama semakin mempersempit ruang gerak serta menarik oksigen lebih banyak, sehingga rasanya aku seperti berada dalam ruangan sempit dengan sedikit celah untuk menghirup udara ke dalam paru-paruku.

Kerumunan terpecah saat seseorang betubuh kecil dengan helm merah di kepalanya masuk tergesa menghampiriku, duduk di sebelahku dengan sebuah kotak putih polos.

Tangan kurusnya gemetar membuka kotak putih tersebut.

Kotak P3K ternyata.

Dia menuangkan alkohol pada kapas yang diambilnya sembarang dari dalam kotak. Menurutku terlalu banyak jika kapas yang digunakannya hanya untuk membersikan luka luar ini dengan alkohol.

Oh, aku benci orang-orang yang semakin lama semakin banyak yang berkerumun, bukan hanya mempersempit ruang gerak dan mengambil oksigen lebih banyak, mulut-mulut mereka begitu berisik menghakimi orang yang sedang membersihkan lukaku. Setidaknya, orang ini bertanggung jawab atas apa yang tidak sengaja dia lakukan. Dia jauh lebih baik dari pada mereka yang sama sekali tidak membantu.

Ugh. Sedikit perih saat cairan dingin alkohol itu menyentuh lukaku. Tangannya masih bergetar.

"Mendingan dibuka dulu helmnya." kataku pelan, dan tetap bicara dengan tenang. Aku tidak ingin membuatnya semakin panik.

"Ah, ya-ya-" Dia meletakkan kotak itu di atas pangkuannya, dengan gugup dia membuka tali pengaman helmnya.

Kini aku dapat melihat jelas mata bulatnya yang besar, hidunya yang kecil dan mancung. Dia menggigit bibir saat kembali membersihkan lukaku. Kulitnya sawo matang. Manis. Seperti sawo yang matang pun rasanya begitu manis.

Suara bising dari kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang membuatku kembali sadar dimana aku berada setelah sesaat aku kehilangan kesadaran. Buru-buru kualihkan lagi pandanganku ke lukaku dari gadis itu, sebelum aku kembali kehilangan kesadaran.

"Bawa ke rumah sakit aja, Mas." celetuk seorang lelaki paruh baya.

"Nggak usah, Pak. Ini juga sudah selesai sepertinya." Gadis itu sudah melilitkan perban pada lukaku yang tadinya mengaga itu.

"Nanti infeksi, Mas." celetuk salah seorang lainnya lagi.

"Infeksi kalau luka saya nggak segera dibersihkan, tapi sekarang sudah bersih, Pak. Terima kasih."

Gadis itu hanya menunduk saja sambil merapihkan obat merah, perban ke dalam kotak putih tadi.

Beberapa orang masih saja menyalahkan gadis itu. Padahal dia sudah membersihkan luka tadi.

Ah, aku tidak suka dengan orang-orang yang mengerumuni aku ini, mereka terlalu banyak bicara, terlalu banyak menghakimi, sementara mereka tidak melalukan apa pun selain menonton.

"Maaf..." sebuah kata keluar dari mulut gadis itu, suara yang nyaris tertelan dengan kebisingan pinggir jalan yang ramai kendaraan berlalu lalang, klason yang tidak sabar untuk mendahului pengendara lain dan suara-suara menyalahkan dari orang-orang yang mengelilingi kami.

"Nggak apa-apa. Makasi udah dibersihin."

"Yakin nggak perlu ke dokter, Mas?" Pertanyaan itu lagi.

"Nggak perlu, Pak. Ini cuma luka, bukan patah tulang. Mba ini udah ngebersihin luka saya dan ini sudah cukup, nggak perlu diperpanjang." kataku akhirnya membungkam mulut-mulut besar mereka yang terlalu berisik dan sama sekali tidak berguna.

Akhirnya salah satu diantara mereka, membubarkan kerumunan.

Ah, udara akhirnya memenuhi paru-parunya yang sudah sesak dengan berbagai macam bau badan.

Dia berdiri, aku pun berdiri di depannya. gadis itu tingginya bahkan tidak lebih dari dadaku.

"Maaf sekali lagi." kali ini matanya beradu pandangan dengan mataku.

Dia mempunyai mata bulat yang indah sempurna. Tapi kosong. Mata itu kosong, seperti jiwa si pemilik tidak berada pada tempat seharusnya. Mata itu memang lurus menatap mataku, tapi aku sepereti melihat kehampaan yang sangat jelas.

"Nggak apa-apa kok."

Dia hanya tersenyum tipis. Lalu kembali mengenakan helm merahnya.

"Hei, kamu nggak apa-apa?"

Dia menatapku bingung. Ya, sudah pasti dia bingung dengan pertanyaanku, karena seharusnya aku yang mendapatknya pertanyaan semacam itu. Tapi, aku tahu, di sini justru yang sedang 'tidak apa-apa' adalah gadis bermata bulat itu.

"Saya..." Dia menggantungkan kalimatnya sesaat, sampai akhirnya berkata, "Saya nggak apa-apa." katanya sambil menyulam senyum.

"Hei tunggu, boleh saya tau nama kamu?" Sebuah pertanyaan dariku lagi-lagi membuatnya menatapku bingung. Entah apa yang membuatnya bingung, aku hanya bertanya namanya. Atau...dia terlalu curiga denganku. 

"Hanya sekedar ingin tau nama orang yang sudah membersihkan luka ini." Aku menambahkan.

"Lorna." katanya. 

Dan akhirnya dia kembali menaiki sepeda motornya. Dia pergi, meninggalkan sisa deru mesin sampai hilang tertelan kebisingan sekitarku.

Ah, Lorna. Kuharap saat Tuhan kembali mempertemukan aku dan kamu, mata bulat itu tidak lagi dipenuhi dengan kehampaan.



~K~

Picture take from here.

Kamis, 23 Januari 2014

Never amend yourself because of others. Do it for yourself.
Because if you do it for someone else, you may only be disappointed and feel in vain when your amend not perfect.
However, if you do it for yourself, there will not be disappointed and nothing in vain.

 

-K-

Jumat, 03 Januari 2014

Berdamai.

Udara pagi masih menggigit kulit hingga tulang, aku masih berlindung di bawah selimut tebal yang membungkus tubuhku, ingin rasanya aku meneruskan tidurku, meneruskan bunga mimpiku bersama pangeran berkuda putih. Tapi, kebiasaan sejak kecil untuk selalu bangun pagi masih terus terbawa hingga kini. Aku harus terbangun lebih awal dari kedua saudari tiriku yang manja, aku yang selalu menyiapkan seragam-seragam sekolah mereka, menyiapkan air panas untuk mereka mandi, memastikan buku-buku pelajaran mereka sudah sesuai dengan jadwal. Tapi yang kudapat selalu hinaan serta cacian. Ibuku bilang, itu adalah bentuk terima kasih mereka. Mereka hanya terlalu malu mengungkapkannya dalam bahasa yang lebih halus. Dan aku harus mengerti. 

Aku akhirnya menyibakkan selimut tebalku yang nyaman, bangkit dari kasur dan langsung permukaan dingin lantai menggelitik telapak kakiku. Satu tahun yang lalu, ayah tiriku dan ibuku pergi meninggalkan aku bersama kedua saudariku. Kecelakaan beruntun merenggut nyawa ibuku tersayang dan ayah tiriku yang baik. Aku yakin, mereka sudah tenang di surga. Satu pesan ibu yang selalu terniang di kepalaku hingga kini, bahwa aku harus selalu mengalah kepada kedua saudariku, ibu bilang aku harus selalu akur dengan mereka.

Ibu, tenang aja, sekarang aku sudah benar-benar berdamai dengan kedua saudari tiriku, mereka tidak pernah lagi memakiku, tidak pernah lagi menghina aku atau ibu, tidak pernah lagi meneriakiku seakan aku ini budak mereka, aku bahkan pastikan bahwa tangan-tangan ringan mereka tidak akan pernah membuatku terluka seperti mereka dulu sering membuat ibu terluka, disaat ibu melindungiku dari kekasaran mereka.

"Selamat pagi, Kak Nes, Kak Nis." Aku menyapa kedua saudari tiriku dengan lembut dan sopan seperti biasa. Mereka tidak lagi manja, Bu. Setiap kali aku terbangun dari tidur, aku pasti sudah menemukan mereka duduk besisian di depan jendela besar yang menghadap taman bunga, dimana ibu suka sekali merawat bunga-bunga itu, namun mereka dengan entengnya mencabuti bunga-bunga yang ibu tanam. Kurasa kini mereka menyesal, Bu. Aku janji, mereka tidak akan mencabuti bunga-bunga kesayangan ibu lagi.

Aku masih selalu membuatkan dua cangkir coklat panas untuk mereka. Ah, itu sudah seperti kebiasaan bagiku. Lagi pula, mereka tidak bisa membuat coklat panas seenak buatannku, jadi anggap saja, coklat panas ini adalah hadiah karena mereka selalu bangun mendahuluiku.

"Bagaimana tidurnya, Kak Nes? Kak Nis?" tanyaku. Kedua saudariku hanya tersenyum. Mereka adalah saudari kembar. Kak Nes mempunyai tahi lalat di sudut bibirnya. Sementara Kak Nis, mempunyai tahi lalat di bawah telinga kanannya. Kuletakkan dua cangkir coklat panas kesukaan mereka di atas meja. Kukecup pipi kedua saudariku. "Aku mau menyiram bunga-bunga itu dulu, ya Kak. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi."

Dengan langkah ringan aku keluar dari rumah menuju pekarangan taman bunga. Kuhirup udara pagi dalam-dalam sampai paru-paruku terisi penuh oksigen walaupun sedikit bau busuk. Aku menuju taman bunga, tempat dimana aku merasa dekat dengan ibu. Ibu, selalu suka mawar putih.

Kedua saudariku masih duduk di sana, cangkir yang kuletakkan belum berubah, rupanya mereka masih belum meminumnya. Kini mereka melihatku, pandangan mereka kosong. Selalu kosong.

Ibu, lihat, kini mereka berdamai denganku. Mereka selalu tersenyum kepadaku, aku sudah menjahit mulu-mulut mungil mereka, sehingga mereka tidak akan pernah memaki, meneriaki dan menghina aku atau dirimu lagi, Bu. Lihat, bunga-bunga ibu tumbuh dengan subur. Mawar-mawar putih merekah dengan sempurna, aku sudah memaku tangan-tangan mereka pada tangan kursi sehingga mereka tidak akan dengan mudah mencabuti mawar-mawar kesayangan ibu lagi.

Kak Nes dan Kak Nis memang cantik ya, Bu. Sayang mereka selalu berbau busuk. Dan aku harus selalu rajin mengoleskan formalin serta menyemprotkan minyak wangi pada tubuh kering mereka. Aku masih selalu menyisirkan rambut mereka, Bu. Walapun harus sangat hati-hati, karena kini rambut mereka mudah sekali rontok.

Sampaikan salamku pada Ayah, Bu. Katakan padanya kini kedua puterinya bersikap sangat baik kepadaku. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir lagi, kami sudah akur sekarang. Kami sudah berdamai sekarang.


***

Picture from here.

Original Cerpen by

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...