Terkadang pengalaman di masa lalu adalah sesuatu yang paling menghantui. Dia sudah berusaha untuk tetap berdiri hingga detik ini untuk tetap terlihat biasa saja, dengan senyum yang tetap terpeta, dengan tawa yang tetap terdengar nyaring, dan jenaka yang selalu dia lakukan, sambil berjalannya waktu pun belajar untuk kembali membuka hati, setelah sekian lama dia biarkan tertutup rapat karena rasa takut dan trauma yang pernah menyelimutinya. Rasa ketidakpercayaan yang menguasainya pelan-pelan tersurut walaupun tidak benar-benar habis.
Dia tidak ingin menjadi manusia yang mati rasa. Tidak ingin tidak merasakan kebahagiaan yang sering diceritakan oleh teman-temannya. Sampai pada akhirnya, dia menguatkan hatinya untuk membukanya kembali, walaupun tidak selebar dulu, paling tidak cukup untuk secercah cahaya masuk yang menerangi sudut-sudut hatinya yang mulai lembab dan dingin.
Dia bertemu dengan beberapa orang. Orang-orang yang mampu mengembalikan lagi harapan yang selama ini dia anggap tidak akan ada lagi untuk dirinya setelah terakhir kalinya dia terjembab karena seseorang yang menghancurkan hidupnya atas nama cinta. Dia tidak lagi mengharapkan harapan apapun untuk hidupnya. Tapi pertemuannya dengan orang itu, merubah sesuatu dalam dirinya, walaupun belum sepenuhnya. Dia kembali percaya, dia kembali terbuka, dia kembali yakin bahwa harapan untuk hidupnya masih ada sinar.
Tapi, ya, masih ada tapi...
Sinar itu hanya bertahan sebentar saja, ya, hanya sebentar.
Tawanya kembali hilang, senyum kembali meredup seperti lilin yang mulai habis daya.
Dia kembali masuk ke dalam kotak gelap, usang dan lembab itu.
Ketidakpercayaan kembali menguasainya.
Dia tidak ingin lagi keluar dari sana, karena yang dia tahu, di luar sana hanya ada kebohongan, kepalsuan, dan harapan yang selalu berakhir sia-sia dan menelantarkan dirinya.
Seharusnya dia tidak pernah lagi percaya pada para pembual. Harusnya, pengalaman masa lalunya memberikan peringatan tentang para pembual yang mengatasnamakan cinta.
Cinta itu omong kosong! Dia menjerit.
Dingin. Hanya itu yang dia rasakan.
Dia tidak ingin keluar. Dia tidak ingin bertemu. Sendiri lebih baik.
Tapi, ya, masih ada tapi...
Dia juga takut mati rasa.
Dia takut tidak lagi bisa merasakan hangatnya sinar matahari atau dinginnya udara malam yang disertai hujan.
Dia takut mati rasa, namun tetap hidup.
Dia takut mati rasa karena rasa sakit yang menumpuk.
Dia takut, Tuhan. Dia takut, sebenarnya.
~K~
Gambar ambil dari sini

Tidak ada komentar:
Posting Komentar