Halaman

Jumat, 20 Juni 2014

Bunda untuk Rena.

here
Gadis kecil itu mengangkat tangan kurusnya yang rapuh, merasakan butir-butir hujan yan turun dari langit menyentuh kulit tangannya. Dia menyukai hujan, selalu menyukai hujan. Ah, ada yang dinantinya setelah hujan usai, pelangi. Dia tidak pernah bosan menantikan munculnya warna-warna indah yang melengkung menghiasi langit. Rambutnya yang sepanjang bahu basah karena hujan, helai-helai rambut menempel pada keningnya. Senyumnya selalu merekah, menunjukkan bagian baris depan gigi susunya. Matanya selalu bulat dan penuh harap setiap kali hujan turun.

Rena, gadis yang baru saja menginjak usia enam tahun dalam hidupnya. Namun, gadis itu tidak pernah sedikit pun terlihat bersedih. Dia selalu tertawa, tersenyum, bernyanyi. Gadis itu tidak pernah berhenti berharap.

Aku mempunyai kesempatan untuk bertaya kepadanya, suatu hari. Kami, aku dan gadis kecil itu duduk di dalam sebuah ruangan yang nyaman. Pada diding sisi kiriku, terdapat perapian dengan api yang menyala kecil, cukup menghangatkan suhu yang berada di bawah telapak kakiku yang tanpa alas. Di sisi kananku, terdapat jendela besar yang terkunci, sedang hujan deras di luar. Mata gadis tidak hentinya memandang keluar.

"Apa yang kau lihat?" tanyaku.

"Hujan." jawabnya, tanpa menolehkan kepalanya kepadaku.

"Ada yang menarik dari hujan?" tanyaku lagi. Aku penasaran, mengapa gadis itu menyukai hujan. Karena yang aku tahu, hujan hanyalah ratusan, mungkin ribuah liter air yang turun dari gumpalan awan, yang kemudian menghentikan beberapa aktifitas, menghambat perjalanan dan macam lain halnya.

Aku, tidak terlalu suka hujan.

"Pelangi." jawabnya. Kini, matanya beradu pandang dengan mataku. Matanya bulat berwarna madu, semakin melengkapi penampilan manis pada wajahnya.

"Pelangi?" Kuulangi perkataannya. Dia mengangguk. "Jadi kau hanya tertarik pada pelangi? Bukan pada hujannya?"

"Pelangi muncul setelah hujan. Rena suka hujan dan pelangi." katanya dengan manis.

"Oke, jadi kau menyukai hujan karena ada pelangi setelahnya. Lalu apa yang kau suka dari pelangi?"

"Pelangi itu cantik." jawabnya. "Seperti bunda."

Aku memajukan tubuhku beberapa senti untuk melihatnya lebih dekat. Gadis itu menatapku dengan sepasang mata madunya tanpa takut-takut. Ah, ini menarik. Dari beberapa anak yang sebelumnya berada di posisi Rena saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang menyinggung tentang orang tua. Kebanyakan, mereka anak-anak yang pemurung, pendiam, tertutup, tidak terlalu bersikap baik, tidak banyak yang bisa kutanya dari mereka. Namun, gadis ini, Rena, dia begitu menarik.

"Seperti bunda? Kau tahu siapa bundamu? Maksudku, apa bundamu pernah datang?"

Dia menggeleng, namun dia menyulam senyum pada bibir mungilnya.

"Tapi Rena yakin, bunda Rena sangat cantik, seperti pelangi."

***
here
Sejak pertama kali pramusaji meletakkan mug putih berisi cairan hitam pekat kopi di atas mejanya, wanita itu tidak menyentuhnya apa lagi meminumnya. Kurasa, kopi dalam cangkir itu tidak lagi panas, sudah dingin, mungkin. Perhatian wanita itu tercuri oleh hujan di luar kedai kopi.

Aku menghabiskan waktu-waktuku beberapa minggu belakangan ini di kedai kopi ini, seusai ngobrol dengan Rena dan kawan-kawannya. Anak-anak itu menjadi bahan skripsiku. Anak-anak yatim piatu yang tidak pernah tahu seperti apa rupa seseorang yang telah melahirkannya. Selama beberapa minggu ini pula, aku selalu melihat wanita itu duduk di sana, pada meja yang terletak di sudut ruangan dekat dengan jendela berkusen kayu coklat gelap. Dia selalu menikmati kopinya dengan tenang. Namun jika hujan tiba-tiba turun, dia akan melupakan apapun yang ada di hadapannya. Seperti ada sesuatu pada setiap tetesan air hujan yang turun yang begitu mencuri perhatiannya. Aku sering memerhatikannya, bahkan sampai Cappuccino milikku juga dingin.

Terkadang kulihat dia memainkan sesuatu yang melingkar pada leher jenjangnya, semacam liontin pada kalungnya.

"Skripsimu tidak akan selesai jika kau terus melamun seperti itu." Suara berat milik Dante menyadarkanku. Pemuda kurus, yang senang sekali berkelakar. Dia sahabatku. Dia yang memberikanku ide untuk mengambil anak-anak yatim piatu sebagai bahan untuk skripsiku.

"Aku tidak melamun. Aku sedang mengamati." kilahku.

"Oh ya? Apa yang kau amati? Sesuatu atau seseorang?"

"Seseorang."

"Oh, kau membuatku cemburu." katanya sambil pura-pura memukul dadanya.

"Tidak lucu." Aku kembali fokus pada layar komputer lipat di hadapanku.

"Hek, apa ini? Cappucino-mu sampai dingin begini." Protes Dante saat-seperti biasa-dia meminum Cappucino-ku seenaknya. "Akan kupesankan lagi Cappucino baru." Dia bangkit dari kursi menghampiri bar.

Rena.

Sementara itu pikiranku tiba-tiba mengingat Rena. Gadis manis bermata madu.

"Ah, kau melamun lagi." Dante kembali memeregokiku yang melamun. Dia datang dengan dua mug putih dengan Cappucino yang masih panas. "Omong-omong, bagaimana perkembanganmu dengan anak-anak di panti?"

"Baik sekali. Ada satu anak yang sangat menarik perhatianku."

Oh, ya," Dante melebarkan kedua matanya. "Ceritakanlah."

Dan aku mulai menceritakan tentang Rena, gadis kecil bermata madu.

***

"Kau mengubah bahan observasimu dari anak-anak yatim piatu itu menjadi satu anak saja?" Dosen pembimbingku mengernyit. "Kau yakin?"

"Ya, Pak." jawabku mantap.

"Tidak sayang dengan bab-bab sebelumnya yang sudah sangat baik itu?"

"Aku menggeleng mantap. Saya punya keyakinan kali ini, Pak."

Dosen pembimbingku melipat kedua lengannya di atas perut tambunnya. "Kau tahu berapa sisa waktumu?"

"Tahu, Pak."

"Yakin dapat menyelesaikannya?"

"Yakin, Pak."

"Baiklah. Apa boleh buat, saya tidak bisa memaksamu untuk meneruskan bahan yang sebelumnya jika kau sudah tidak ada keyakinan lagi di sana. Namun, kali ini, keyakinanmu tidak boleh berubah."

Ah, aku senang dengan dosen pembimbingku ini, dia seperti Dante. Tidak hanya sebagai dosen yang membantuku dalam proses menyelesaikan skripsi, tapi pria paruh baya itu sudah seperti sahabatku.

***
here
Cuaca akhir-akhir ini memang sedang tidak menentu. Terkadang matahari bisa sangat semangat menyebarkan sinarnya, namun tiba-tiba, awan kelabu bisa saja muncul dan menumpahkan hujan. Aku menyebrangi pekarangan melalui batu setapak yang ditata apik oleh pengurus panti. Bau tanah basah selepas hujan langsung menyapa indra penciumanku.

Suasana di dalam lebih hangat. Perapian menyala dengan api-api kecil.Ibu Rosi, pemilik panti menyuguhkan dua gelas cokelat panas lengkap dengan marsmellow.

"Sudah lihat pelangi tadi?" tanyaku pada Rena.

Dia mengangguk antusias. "Cantik, ya, Kak."

"Iya. Seperti bunda, kan?"

"Iya. Kalau bundanya Kakak cantiknya seperti apa?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan itu sungguh membuatku tertegun. Tiba-tiba aku merasa sama seperti Rena. Bedanya, Rena masih selalu berharap dan selalu mempunyai harapan bahwa suatu hari dia akan kembali bertemu dengan bundanya. Sementara aku...

Aku mengeluarkan selembar poto usang dari dalam dompetku. Seorang wanita yang sedang mengandung, dipeluk dengan sayang oleh seorang lelaki. Lelaki yang selama aku hidup ini kukenal sebagai ayah juga ibu. 
Dan wanita itu adalah sosok yang melahirkanku.

Aku memberikan poto itu pada Rena, membiarkan dia melihatnya. Senyumnya mengembang tidak lama kemudian. Mata madunya berbinar seperti tertimpa cahanya matahari fajar.

"Bundanya Kakak cantik seperti Kakak." katanya tulus.

Aku tersenyum. "Terima kasih. Kau juga pasti mewarisi kecantikan bundamu."

"Pasti Kakak senang, setiap hari bisa bertemu dengan bunda."

Senyumku memudar. Bertemu dengan bunda. Aku harap demikian. Namun, harapan yang kupunya tidak sebesar milik Rena.

Tuhan terlalu sayang dengan bunda. Begitu kata ayah. Beberapa jam setelah bunda melahirkanku, dia pergi. Pergi meninggalkan ayah dan meninggalkan aku yang tidak akan pernah merasakan bagaimana dipeluk olehnya, tidak akan pernah mendengar suaranya, tidak akan melihatnya tersenyum kepadaku.

"Tidak juga. Aku sudah sangat lama tidak bertemu dengannya."

"Kenapa?"

"Dia sudah pergi."

"Jauh, kah?"

"Sangat jauh."

"Kenapa Kakak tidak ikut?"

"Karena tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena, jika aku pergi, tidak ada yang menemani ayahku."

"Pasti Kakak rindu."

"Sangat." jawabku dengan menyimpulkan senyum.

"Rena juga. Kakak tahu, sudah berapa lama Rena tidak melihat bunda?"

"Kau tahu?"

Dia mengangguk. "Enam tahun, tujuh minggu, lima hari."

"Wow." Aku dibuatnya terkejut. "Kau benar-benar menghitungnya, ya?"

"Iya. Bunda Rosi membantu Rena menghitungnya."

"Kau yang pasti sangat merindukan bundamu. Omong-omong, kalau kau sedang benar-benar rindu dengan bunda. Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku.

Tangan kurus gadis itu mengeluarkan sesuatu dari balik kausnya. Sebuah liontin perak berbetuk bulat pipih.

"Itu dari Bunda Rosi?"

Dia menggeleng, "Kata Bunda Rosi, liontin ini ada di dalam selimut Rena."

Rena menekan sesuatu pada liontin itu, kemudian terdengar bunyi klik pelan. liontin tadi tiba-tiba terbuka, menunjukkan sebuah kertas kecil yang terlipat di dalamnya. Rena mengambil kertas itu pelan-pelan, kemudian membuka lipatannya dengan sangat hati-hati. Lalu dia menunjukkannya kepadaku, sebuah kata yang tertulis di atas kertas lusuh itu.

IRIDIS

Aku mengernyit.

"Kata Bunda Rosi, Iridis artinya pelangi."
 ***
"Tuhan terlalu sayang pada Bunda. Itu sebabnya Dia memanggil Bunda." kata ayah suatu hari.

"Jadi, Tuhan tidak sayang padaku?" tanya diriku yang masih kecil.

Ayah tersenyum. "Tuhan terlalu sayang untuk semua yang diciptakannya. Tapi, cara Dia menyangi setiap ciptaannya berbeda."

"Kenapa Tuhan tidak memanggilku juga untuk menemani Bunda?"

"Jika kau menemani Bunda, lalu siapa yang akan menemani Ayah?"

"Kalau begitu, kenapa Tuhan tidak memanggil Ayah untuk menemani Bunda?"

Ayahku menyimpulkan senyum pada wajah letihnya. "Lalu siapa yang akan membacakan dongeng untukmu? Siapa yang akan menggendongmu saat banjir? Siapa yang akan menjagamu?"

"Lalu siapa yang akan menemani Bunda?"

"Banyak bidadari yang menemani Bunda di surga. Bunda tidak sendirian, Sayang."
***
Hujan kembali turun, disertai petir kali ini. Cuaca benar-benar tidak menentu. Pagi tadi sebelum sampai di panti, hujan juga turun. Kini, hujan kembali mengguyur.

Kedai kopi penuh. Nyaris tidak ada kursi kosong. Kursi yang biasa aku duduki pun sudah lebih dulu ditempati oleh pengunjung lain. Ah, padahal tempat itu paling asik untuk aku menuliskan semua hasil wawancaraku dengan Rena.

Mataku kembali menangkap sosok itu, sosok yang selalu tercuri perhatiannya saat hujan turun.

"Maaf," Aku menghampiri mejanya, dan tidak ada respon darinya, jadi kuulangi lagi. "Maaf, apa kursi ini kosong?"

Dia terkesiap melihatku. "Y-ya. Silahkan."

Jadi, aku duduk di hadapannya. Kuletakkan tasku. Aku memesan Cappucino seperti biasa pada seorang pramusaji yang lewat mejaku, meja kami.

"Kopimu tidak diminum, nanti dingin." kataku.

Wanita itu hanya tersenyum. Lalu dia kembali menatap hujan.

"Apa yang sebenarnya kau lihat?" Aku bertanya. Ah, aku tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Hujan." jawabnya.

Aku mengeryit, bukan karena bingung, melainkan jawabannya mengingatkanku pada gadis kecil bermata madu.

"Apa yang menarik dari hujan?"

Kemudian dia meluruskan kepalanya, dia memandangku dengan sendu. Dan matanya...matanya mengingatkanku kembali dengan gadis kecil itu.

"Kau percaya bahwa saat hujan turun, malaikat surga juga ikut serta?"

Aku menaikkan kedua alis mataku. Bertanya dalam hatiku, apa wanita di hadapanku ini benar-benar percaya bahwa malaikat surga turun bersama hujan?

"Entahlah. Tapi, dulu ayahku sering bercerita tentang malaikat yang turun dari surga."

"Ya, saat hujan." Dia menambahkan.

"Jadi, kau percaya?" tanyaku.

"Ya."

"Jadi itu yang mencuri perhatianmu pada hujan? Kau...mencari malaikat?" Aku sendiri merasa aneh dengan pertanyaanku. Tapi wanita itu tetap menjawabnya.

"Aku menunggu malaikat."

"Wow, kau pasti sudah menunggu sangat lama."

Dia mengeryitkan kening.

"Maksudku, jika kau sudah bertemu dengan malaikat surga, kau pasti sudah tidak menunggunya lagi sekarang."

Dia menyimpulkan senyum.

"Boleh kutahu, mengapa kau begitu setia menunggu malaikat surga itu?"

"Aku..." Dia diam sejenak. "Aku ingin meminta bantuannya."

Wow, ini kali pertamanya aku bertemu dengannya, dan dia sudah mampu membuatku menaikkan alis mataku beberapa kali. Aku tidak akan menaikkan kedua alis mataku jika tidak terkejut atau sesuatu membuatku takjub.

"Memangnya apa masalahmu sampai-sampai kau setia menunggu malaikat itu? Ehm, maaf aku terlalu banyak bertanya."

Tapi kurasa dia memang butuh bantuan. Seseorang yang begitu setia menunggu malaikat surga saat hujan hanya untuk meminta bantuan. Taruhan, wanita di hadapanku ini pasti sudah sangat putus asa.

"Aku ingin bantuannya untuk menemukan putriku."

Aku tertegun. "Putrimu?"

"Ya."

"Putrimu hilang?"

"Ah, ceritanya sangat panjang."

"Kurasa hujan sangat lebat dan pasti tidak akan cepat reda, aku punya waktu yang panjang di sini. Jika kau mau, kau bisa bercerita kepadaku. Mungkin, jika aku lebih dulu bertemu dengan malaikat itu, aku bisa membantumu untuk memberitahunya bahwa kau membutuhkan bantuannya."
***
Wanita itu bernama Dis, seseorang yang melarikan diri dari padatnya aturan-aturan hidup yang ditekankan oleh ayahnya, beberapa tahun silam. Di kota hujan ini, dia hanya ingin sejenak saja merasa bebas, menjadi dirinya sendiri. Di kota hujan ini, Dis bertemu dengan Arjuna. Seorang pemuda yang membuatnya jatuh hati. Singkat cerita, Dis menikah dengan Arjuna, tentu tanpa restu dari ayah Dis. Di mata ayah Dis, pemuda yang berprofesi sebagai penyanyi kafe itu dilihat tidak cukup baik untuk mendampingi putrinya, Dis. Walaupun begitu, Dis merasa cukup. Dia tidak membutuhkan kemewahan untuk merasa bahagia. Arjuna, dengan caranya membuat Dis menjadi wanita dan calon ibu yang sangat bahagia. Namun, mereka terpisah-dipisahkan secara paksa, lebih tepatnya. Dis tidak percaya dengan pengakuan ayahnya yang berkata bahwa Arjuna meninggalkannya. 

Malam itu, hujan turun dengan lebatnya. Dis bertekad untuk mencari Arjuna, kemana pun. Dan suatu kejadian terjadi begitu cepat, kecelakaan membuat Dis akhirnya melahirkan anak pertamanya secara prematur. Dis pendarahan dan koma beberapa hari. Saat Dis sadar, wajah ayahnya yang dia lihat pertama kali.

"Dia tidak selamat. Anakmu." ujar ayahnya. Dis merasa dunia benar-benar runtuh, Dis merasa hidup tidak pernah adil untuknya. Dis merasa, hidup tidak pernah memberikannya kesempatan untuk bahagia.

Namun Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Ah, ya, rencana Tuhan selalu baik.

Ayah Dis sakit keras satu tahun kemudian. Faktor usia membuatnya tidak bertahan lebih lama, tidak mampu melawan penyakitnya. Pada sisa-sisa nafasnya, suatu rahasia pun diungkapkan.

***
Hari ini aku datang ke panti tidak untuk bertemu dengan Rena, skripsiku hampir selesai, aku hanya tinggal membubuhkan penutup. Aku datang untuk menemui Ibu Rosi, wanita tua yang tidak pernah kehilangan pesona masa mudanya. Dia selalu menggelung rambutnya dengan rapi. Kami duduk di kursi kayu sambil menikmati teh lemon hangat. Letak bangunan panti yang berada di bukit membuat penglihatan dimanjakan oleh pemandangan alam yang memikat.

"Aku beruntung menemukan tempat ini." ujarnya. "Udaranya sangat bagus untuk pertumbuhan anak-anak. Tidak seperti tempat panti yang dulu."

"Yang dulu?" Aku mengulang.

"Oh, apa aku belum cerita bahwa dulu pantiku ini berada di Jakarta?"

"Belum."

"Ah, baiklah, kini kau tahu. Kami pindah sekitar lima tahun yang lalu. Kau tahu, Jakarta terlalu banyak polusi. Dan rumah yang dulu tidak sebesar yang kami tempati sekarang."

"Kurasa kau mengambil keputusan yang baik. Di sini pemandangannya sangat indah." sahutku. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Ya, silahkan."

"Bagaimana kau menemukan Rena?"

Ibu Rosi tersenyum. "Kulihat kau sangat tertarik pada Rena."

"Dia memang gadis yang menarik." jawabku jujur.

"Kau berniat untuk mengadopsinya?"

"Ah, tidak. Kurasa aku belum mampu mengadopsi seorang anak. Perjalananku masih sangat panjang."

Ibu Rosi tersenyum mengerti. Lalu dia mulai bercerita,

"Enam tahun yang lalu, seseorang menggedor pagar panti. Aku dan beberapa pengurus panti sampai keluar untuk mencari tahu. Malam itu hujan lebat. Kami tidak menemukan siapa pun di sana, yang kami temukan hanya sebuah keranjang rotan tergeletak di depan pagar. Seorang bayi di dalamnya membuat kami terkejut. Aku pikir saat itu, bayi di dalam keranjang yang hanya dibalut sebuah selimut itu sudah tidak bernyawa. Kami langsung membawanya ke rumah sakit. Kau tahu, sungguh keajaiban, bayi itu masih hidup. Menurut dokter, bayi itu kemungkinan baru lahir beberapa jam yang lalu. Kuberi dia nama Rena. Tidak ada identitas apapun yang ditinggalkan oleh orang yang meletakan Rena di depan gerbang, hanya sebuah liontin yang terselip di dalam selimutnya. 
Kukatakan pada Rena, bahwa dia adalah anak yang istimewa. Dia bahkan tidak pernah menangis. Anak itu luar biasa."

Aku mendengarkannya dengan seksama.

"Jadi, kau benar-benar tidak ingin mengadopsinya?"

"Tidak, Bu. Tapi mungkin aku bisa menemukan seorang ibu untuknya."

Ibu Rosi menggeleng, "Rena hanya ingin bersama Bundanya. Pelanginya."

***
 "Jun." kata lelaki yang dikenalkan Dante. Jun, seorang pemilik studio musik tempat Dante dan kawan-kawanya berlatih band mereka. Studio ini agak terpencil dari kota. Lelaki itu sibuk berkutat dengan komputer lipatnya, sementara menunggu Dante latihan, aku yang selalu gatal untuk bertanya-tanya, penasaran dengan namanya. Mengapa hanya tiga suku kata. 

Dia tersenyum saat kutanya perihal namanya. Senyumnya cukup ramah untuk seorang lelaki yang mempunyai sorot mata yang tajam.

"Jun, hanya panggilanku. Mereka bilang terlalu panjang memanggil namaku, jadi mereka menyingkatnya. Aku tidak keberatan. Selama mereka membayar uang sewa studio." katanya sambil terkekeh ringan.

"Ya, Dante dan kawan-kawanya memang hobi menyingkat nama orang. Memangnya sepanjang apa namamu?"

"Arjuna. Menurut mereka, Arjuna terlalu panjang pada lidah mereka."

"Arjuna..."
***
"Hei, boleh kutemani?" Dis tiba-tiba menghampiri mejaku.Cukup membuatku terkejut. Percakapan kami beberapa hari yang lalu rupanya membuat Dis merasa cukup nyaman untuk kembali duduk satu meja denganku.

"Tentu saja."

"Apa yang kau kerjakan?"

"Aku sedang menyelesaikan skripsiku."

"Apa aku menggangumu?"

"Tidak, sama sekali tidak mengganggu. Aku senang ada yang menemani. Biasanya ada Dante, sahabatku yang menemani, tapi hari ini dia sibuk."

"Apa yang kau tulis?"

"Tentang...anak yatim piatu."

Senyum di wajahnya menghilang.

"Maaf, tidak bermaksud membuatmu sedih." ujarku.

"Tidak apa. Bukan salahmu. Aku sedih karena, aku rindu sekali dengan putriku."

"Ya, pasti. Sudah sangat lama kau tidak bertemu dengannya, Sudah lama juga kau mencarinya. Percayalah, suatu hari nanti, kau pasti akan bertemu dengannya."

"Entahlah. Ini sudah enam tahun, delapan minggu, tiga belas hari, kami terpisah."

"Wow, kau menghitungnya secara detil, Dis."

"Aku menghitungnya sejak hari dia aku lahirkan."

Aku tersenyum. "Aku juga mengenal seseorang yang menghitung..."

Tunggu dulu, Rena juga melakukan hal yang sama. Menghitung. Dia menghitung dengan cara yang sama seperti wanita di depanku.

Tiba-tiba pulpen yang kupegang terlepas dari tanganku. Aku dan Dis sama-sama menunduk untuk mengambilnya. Dan sesuatu terlihat menggantung di lehar Dis.

"Apa itu?" tanyaku, begitu kami tegak kembali.

"Ini liontin. Tadinya ada sepasang. entahlah kemana pasangan liontin ini."

"Boleh kulihat?"

Dis melepaskan liontinnya, dan memberikannya kepadaku.

Liontin perak berbetuk bulat pipih. Ingatanku masih sangat segar, aku ingat siapa yang memiliki liontin yang persis sama. 

"Omong-omong, siapa namamu, nama lengkapmu?"

"Iridis." jawabnya.

"M-maaf Dis, aku harus pergi sekarang." Aku kembalikan liontinnya. Lalu merapihkan dengan cepat buku-buku serta komputer lipatku.

"Kau mau kemana?"

"Ada sesuatu yang harus kuyakinkan. Jika apa yang kuyakinkan itu benar, aku akan memberitahumu."

Kata Bunda Rosi, Iridis artinya pelangi
***
Ponselku tiba-tiba bergetar, padahal aku sedang tidak ingin menerima telepon dari siapa pun saat ini, Aku harus segera sampai di panti. 

Nama Dante muncul di layar ponselku yang berpendar. 

"Dimana kau?" tanya Dante. Suaranya lemah, tidak seperti suara Dante yang selalu jail.

"Aku sedang di jalan, mau ke panti. Ada apa dengan suaramu?" tanyaku.

"Aku kecelakaan. Bisa kau ke rumah sakit dulu sebelum ke panti?"

Tanpa mengiyakan, aku langsung mengubah rute jalan. Ada-ada saja Dante itu, dia pati kebut-kebutan lagi.
 Aku sudah pernah memperingatinya untuk tidak bermain-main dengan kecepatan mobil yang dikendarainya.
Aku bertanya pada suster jaga, mereka mengarahkanku ke ruang IGD. Langkahku kucepatkan dua kali lipat sampai aku menabrak seseorang. Jun. Dia yang kutabrak - tidak sengaja kutabrak.

"Syukurlah kau sudah datang, Dante menunggumu." kata Jun.

"Terima kasih sudah menemani Dante."

Dia mengangguk. "Baiklah, aku harus segera pergi. Ada urusan. Maaf tidak bisa menemani lebih lama."

Jun pergi, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan ruang IGD. Lalu mataku menangkap sesuatu yang tergeletak di atas lantai, tepat di tempat Jun kutabrak tadi.

Sebuah poto. Poto usang. Poto seorang wanita yang tersenyum dengan sangat cantik.

Ya Tuhan, aku mengenalnya!
***
Dante mengambil gambarku bersama ayah. Ayah tersenyum sangat lebar, terlihat sekali rasa bangga pada wajah ayah, walau pun kerut-kerut diwajahnya menadakan dirinya kini sudah tidak muda lagi, ah, tapi bagiku, ayah masih tetap lelaki nomer satuku. Aku sangat bahagia, bisa membuat ayahku begitu bangga padaku.

Aku lulus, gelar sarjana kini sudah di tertulis di belakang namaku. Pagi-pagi tadi, Dante sudah menjemputku dan ayah. Dia yang memberikan seikat bunga krisan yang berwarna-warni yang kini kupegang.

"Sini, biar ayah ambil gambar kalian berdua." Ayah mengambil posisi Dante, dan sebaliknya.
Dante dan aku hampir tidak pernah poto dalam pose yang formal. Jadi saat hitungan ke tiga, aku mencubit pipi Dante.

"Kakak!" panggil suara jernih yang sudah sangat kukenal. Gadis manis bermata madu berlari menghampiriku.

"Rena!" Aku membungkuk lalu memeluknya. "Kau datang, ya. Ah, senang sekali bisa melihatmu datang ke sini."

"Iya, Rena datang sama Bunda dan Ayah." gadis itu menunjuk seorang wanita dan lelaki yang berjalan menghampiri kami sambil menggenggam tangan. Yang belakangan ini kutahu nama wanita itu Iridis, dan lelaki itu Arjuna.

"Selamat, ya. Akhirnya kau kini kenakan toga itu di kepalamu." kata Iridis.

Arjuna menyalamiku, "Selamat dan terima kasih."

Aku mengernyit.

"Karena sudah menyatukan kami." sahut Iridis.

"Anggap saja, malaikat surga membantuku menghubungkan jalan kalian bertiga."

Kini Iridis memelukku. Wanita itu kembali menangis. Tangis bahagia seperti beberapa bulan lalu saat kuajak dia bertemu dengan Rena dan Arjuna di sebuah dermaga.

"Kumohon jangan menangis, atau kau akan membuatku menangis juga, lalu make up-ku akan luntur." 

Iridis tertawa. "Maaf."

"Kakak," Rena memanggilku. "Rena ingin memberikan ini untuk Kakak." Gadis itu memberikan liontin perak ke tanganku.

"Untukku?"

"Ya." katanya sambil menunjukkan senyum terlebarnya.

"Ah, terima kasih." Aku langsung memakai liontin itu. "Jadi, kini kau sudah menemukan pelangimu, ya.

Gadis itu mengecup pipiku.

Tidak ada rasa sebahagia ini. Melihat Rena bersama pelanginya, juga malaikat pelindungnya.

Aku tidak akan bisa seperti Rena, merasakan pelukan pelanginya. Tapi, melihat Rena begitu bahagia, serta binar pada sepasang mata madu yang dulu belum aku temukan, rasanya seperti aku menemukan pelangiku.

Seperti ada Bunda yang juga memelukku dari atas sana.

Kuharap, ini bisa menjadi kado yang paling indah untuk Rena, walaupun ulang tahunya sudah lewat beberapa minggu.

Bunda, melihat Rena bertemu bundanya, rasanya seperti melihat diriku bertemu denganmu.

Ah, ya, namaku Renata, omong-omong. 

Semoga kau juga dapat menemukan pelangimu.

here

Original Cerpen by



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...