Satu minggu ini gue ga pernah absen untuk nemenin Alin selama dia koma dan setelah dia sadar dari komanya. Alin masih begitu lemah. Gue nggak mau ninggalin dia lagi walaupun dia yang menyuruhnya.
Ibu dan ayah Alin harus menghadiri meeting di Singapore. Se-urgent itukah sampai nggak bisa mereka menolaknya hanya untuk menunggu anakknya yang baru bangun koma?
Maafin gue Lin, harusnya gue nggak pernah ninggalin lo sendiri.
"Dimakan dulu buburnya, Lin." kata gue lembut.
Wajah Alin begitu pucat, sepucat tisu yang tergeletak diatas nampan.
"Gue nggak lapar, Jet." ujarnya lirih.
"Tapi perut lo harus diisi, lo harus banyak makan untuk cepat pulih. Memangnya lo mau tidur dirumah sakit mulu?"
"Gue udah kehilangan segalanya, Jet." katanya lirih sambil memandang kosong keluar jendela.
Gue meletakkan mangkuk bubur itu diatas nampan yang tergeletak diatas meja samping tempat tidur. Lalu menghampirinya, jongkok didepannya yang duduk diatas kursi roda.
"Lo masih punya gue, Lin."
Alin menggeleng lemah, setetes air mata jatuh dari matanya.
"Reno ninggalin gue, kehilangan janin gue dan sekarang gue lumpuh." Alin menunduk lemah, bahunya bergetar. Gue meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat-erat berharap dia bisa merasakan kehangatan yang gue simpan untuknya.
"Gue ga akan ninggalin lo lagi, Lin. Gue janji." Alin mendongakkan kepalanya, memandang gue dengan matanya yang basah.
"Trus kenapa dulu lo pergi, Jet? Ngebiarin gue sendirian." Dia membalas tatapan matanya gue.
"Gue...karena gue mau mencoba memulihkan perasaan gue, Lin."
"Perasaan apa?"
"Perasaan gue ke elo."
Alin mengernyit dan diam, mungkin dia bingung dan mencoba untuk mencerna perkataan gue.
"Ya udah lah, yang penting sekarang gue ada disini dan gue janji ga akan pernah lagi ninggalin lo." Gue mengangkat tangan untuk melap sisa air mata dipipinya yang kurus itu.
"Janji?"
"Yep. Sekarang makan dulu buburnya ya, gue suapin." Gue mengedipkan sebelah mata. Alin selalu tersenyum setiap kali gue melakukannya, karena gue ga pernah bisa berhasil mengedipkan sebelah mata dan hasilnya malah seperti orang kelilipan.
Akhirnya dia tersenyum lagi.
"Reno ninggalin gue, kehilangan janin gue dan sekarang gue lumpuh." Alin menunduk lemah, bahunya bergetar. Gue meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat-erat berharap dia bisa merasakan kehangatan yang gue simpan untuknya.
"Gue ga akan ninggalin lo lagi, Lin. Gue janji." Alin mendongakkan kepalanya, memandang gue dengan matanya yang basah.
"Trus kenapa dulu lo pergi, Jet? Ngebiarin gue sendirian." Dia membalas tatapan matanya gue.
"Gue...karena gue mau mencoba memulihkan perasaan gue, Lin."
"Perasaan apa?"
"Perasaan gue ke elo."
Alin mengernyit dan diam, mungkin dia bingung dan mencoba untuk mencerna perkataan gue.
"Ya udah lah, yang penting sekarang gue ada disini dan gue janji ga akan pernah lagi ninggalin lo." Gue mengangkat tangan untuk melap sisa air mata dipipinya yang kurus itu.
"Janji?"
"Yep. Sekarang makan dulu buburnya ya, gue suapin." Gue mengedipkan sebelah mata. Alin selalu tersenyum setiap kali gue melakukannya, karena gue ga pernah bisa berhasil mengedipkan sebelah mata dan hasilnya malah seperti orang kelilipan.
Akhirnya dia tersenyum lagi.
***
Demi Tuhan, nggak ada yang lebih indah dibandingkan melihatnya kembali tertawa seperti ini. Kondisinya berangsur membaik, wajahnya nggak sepucat waktu pertama kali dia sadar dari komanya, pipinya mulai bersemu merah dibawah sinar matahari pagi ini. Rasanya gue ingin menghentikan waktu barang sebentar saja hanya untuk mengabadikan moment ini.
"Kok lo jadi bengong, Jet?" tanyanya, membuyarkan lamunan akan fantasi yang berseliweran diotak gue.
"Hah-eh-ga apa-apa."
"Jet, gue mau tanya deh, yang lo maksud perasaan lo ke gue waktu itu apa ya? Yang waktu gue masih dirumah sakit lo bilang, lo dulu pergi karena lo lagi mencoba untuk memulihkan perasaan lo ke gue, gitu. Itu, maksudnya apa?"
Gue menarik nafas panjang, mungkin memang sudah waktunya gue mengungkapkan semuanya, semua tentang perasaan yang selama hampir seumur hidup ini gue pendam.
"Gue sakit hati, Lin."
"Astaga! Gue punya salah apa sama lo sampe lo segitu sakit hatinya dan ninggalin gue?" Alin terdengar begitu khawatir.
"Bukan Lin, bukan itu maksud gue. Elo sama sekali ga pernah menyakiti gue, bukan salah lo sama sekali."
"Lantas?"
"Saat lo lebih memilih Reno, honestly hati gue hancur."
"Ap-apa?"
"Gue mencintai lo, Lin, sejak dulu. Cinta ini lebih dari apa yang lo tau, cinta ini bahkan-mungkin-lebih-dari apa yang gue rasa. Gue tau mungkin gue terdengar gombal, tapi ini lah perasaan gue yang sebenarnya. Gue pikir lo bahagia dengan lekaki sialan itu, makanya gue pergi dan berusaha untuk merelakan lo bahagia dengan orang lain. Tapi nyatanya gue salah besar. Gue ga pernah melalui hari-hari dan malam-malam gue tanpa mikirin lo." Gue meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat.
"Jet...tapi gue...sekarang lo liat, gue harus bertumpu pada kursi roda ini. Gue sama sekali ga pantas untuk jadi kekasih apa lagi seorang istri. Gue lumpuh Jet! Gue ga akan bisa membahagiakan siapa pun yang menjadi pasangan gue." Air matanya kembali menetes membasahi pipinya.
"Ssst." Gue melap air matanya dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan gue.
"Melihat lo tertawa dan tersenyum itu udah sangat membuat gue bahagia, Lin. Gue udah pernah nyaris kehilangan lo, Lin. Dan gue ga mau kehilangan lo lagi."
"After all this time?"
"Yes after all this time."
"After all what happened to me?"
"I always love you, no matter what."
- The End -
Original Cerbung by Kiky
Gambar copas disini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar