Halaman

Kamis, 17 Mei 2012

Wish

Aku tidak pernah mengerti perasaan apa yang aku rasakan saat pertama kali aku bertemu dengannya. Yang aku tahu, perasaan itu yang akhirnya membuatku nekat melepaskan mimpiku, keluar dari sekolah bidan dan masuk universitas jurusan PR hanya untuk bersamanya. 

Kalau saja tidak ada status persahabatan antara aku dan dirinya, aku pasti sudah berlari ke dalam pelukannya dan teriak ditelinganya "Aku menyukaimu!!", tapi bagaimana bisa dia menerimaku kalau saat ini dia mengenalku sebagai seorang laki-laki yang menjadi sahabatnya dan satu kamar kost dengannya selama ini. Ya, satu lagi kenekatanku, selain melepas mimpiku sebagai bidan, aku nekat menyamar sebagai laki-laki hanya untuk selalu berada didekatnya, untuk selalu mendengar suaranya, ceritanya, tawanya, melihat senyumnya, melihat wajah maskulinnya saat tertidur dan mengabadikannya dalam album foto handphone-ku (yang tidak pernah aku pinjamkan kepadanya dengan alasan apapun.). Aku benar-benar menyadari, ini bukan hanya sekedar rasa suka, ini juga bukan sekedar rasa kagum, tapi aku benar-benar mencintainya. Apa ini yang dinamakan cinta buta. 

Aku merawatnya saat dia sakit demam tinggi, sampai dia bilang "Lo nih cowok apa cewek, sih?"

Dan aku hanya menjawab, "Gue setengah-setengah."

Dan dia tertawa. Aku selalu suka saat dia tertawa, cara dia tertawa dan suara renyah tawanya yang selalu terniang ditelingaku bahkan sampai aku tertidur.

"Lo ga apa-apa, Dit?" tanyanya saat aku istirahat dipinggir lapangan.
"Ga apa-apa. Cuma kepeleset doang tadi." jawabku.
"Bagus deh, gue ngeri aja tadi ngeliat lo jatoh, mana badan lo kecil gini, ngeri tulang-tulang lo pada copot dari engselnya." ucapnya sambil tertawa ringan. Dia selalu saja bisa membuatku tertawa pada saat aku susah.
Aku nggak perduli kalau aku harus terjatuh setiap kali menendang bola atau malah kepeleset saat harus mengoper bola. Tergelincir saat ikut ekstrakulikuler climbing, menabrak tumpukkan ban saat bermain gokart, asal semua yang aku lakukan, aku selalu berada bersamanya, berada didekatnya.

Aku juga nggak perduli setiap kali dia bercerita tentang hatinya yang mencitai wanita lain dan hatiku terasa seperti teriris, saat dia bercerita tentang bagaimana harinya bersama wanita itu. Bahkan terkadang aku sendiri yang memberinya semangat agar dia mengutarakan perasaannya pada gadis yang dicintainya itu. Walaupun berat, tapi itu lah tugasku sebagai sahabatnya, kan? Memberinya semangat dan support. Walaupun aku sendiri tidak pernah tahu siapa wanita itu. Setiap kali aku bertanya, "Siapa sih yang lo suka itu?"
Dia selalu menjawab, "Nanti aja, lah, gue malu."  atau "Hmmm....ada deh. Mau tau aja lo."

Dan aku berharap akulah si gadis itu, tapi sekali lagi tidak mungkin, Arya mengenalku sebagai laki-laki. Tak apa, selama aku selalu didekatnya, selama aku orang pertama yang selalu mendengarkan setiap certita senang sedihnya, selama aku orang pertama yang melihat wajahnya saat bangun tidur, selama aku satu-satunya orang yang selalu melihatnya saat dia tertidur dan satu-satunya orang yang mendengar dengkurannya.

Arya tau aku tidak bisa mengendarai motor, jadi hari ini dia menjadi guru pribadiku mengajarkan aku mengendarai motor, setelah berkali-kali nyungsep, motor Arya pun lecet sana sini, berkali-kali aku minta maaf, dia hanya bilang, "Dasar anak kecil." sambil mengusap-usap kepalaku yang langsung buru-buru kutepis menghindari terjadinya insiden kalau rambut palsuku bisa saja terlepas.

Arya akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu sore itu ke Sentul. Setiap kali diboncengnya seperti ini, ingin sekali aku memeluknya erat.

"Eh sekalian aja kita kerumah lo ya, di Bogor, kan?" kata Arya tiba-tiba.

"Mau ngapain? Ng-nggak usah lah." jawabku buru-buru, bisa kebongkar rahasiaku. Keluargaku tidak ada yang tahu mengenai penyamaranku sebagai Radith.

"Emang kenapa?"

"Ng...gue...gue lagi berantem sama adek gue, lagi males gue pulang, harus ketemu dia lagi." jawabku ngawur. Aku ini anak bontot. Aku ngga punya adik melainkan kakak yang aku punya.

Lagi-lagi kebohongan yang aku lontarkan untuk menutupi penyamaranku.

Arya tau aku paling takut kalau dia ngebut, jadi sore ini dia habis-habisan meledekku dengan mengendarai motornya secepat pembalap dan menakutiku kalau rem tangan dan kakinya tidak berfungsi. Setiap kali aku panik dia selalu tertawa terbahak, dia bilang, aku sama sekali nggak pantas untuk jadi laki-laki, mentalku lebih cocok untuk jadi perempuan saja. Helloow...aku memang perempuan. Sayangnya dia tidak menyadarinya.

"Pegangan Dit!" teriak Arya tiba-tiba dan Arya langsung membating stir kekiri, aku yang tidak siap dan tidak seimbang akhirnya jatuh dengan kencang diatas aspal dan aku masih bisa merasakan kepalaku membentur sesuatu, aku masih mendengar suara body motor Arya yang juga menghantam aspal, selanjutnya yang kudengar banyak sekali suara orang, dan suaranya yang memanggilku. Setelah itu yang aku tahu hanya gelap dan aku tidak lagi merasakan atau mendengar apapun lagi.

***
Aku membuka mataku perlahan-lahan, pelan-pelan aku bisa melihat sebuah sinar diatas kepalaku. Uuggh...sakit sekali kepalaku ini, pelan-pelan aku mengangkat tanganku dan kuraba kepalaku.

Perban.

Kepalaku diperban. Dimana aku ini?

"Dita? Akhirnya kamu sadar." aku ingat, itu suara ibuku. Pelan-pelan aku bisa menangkap semua bayangan menjadi jelas. Ibu, ayah dan kakakku. Mereka semua mengelilingiku. Ibu langsung memelukku dan aku sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Ini dimana?" tanyaku pelan.

"Rumah sakit, sayang."

Pelan-pelan aku mulai ingat apa yang terjadi dan seingatku (kalau aku tidak amnesia) aku jatuh dari motor bersama Arya, itu berati kondisiku sebagai Radith bukan Dita, tapi kini keluargaku memanggilku Dita, itu berati sekarang aku dalam kondisi 'wujud' ku yang sebenarnya.

"Arya?" gumamku.

"Oh ya, dia yang menelepon ibu memberikan kabar kecelakaan ini, dia juga minta maaf atas kejadian ini. Dan selama kamu tidak sadarkan diri, dia selalu datang berkunjung. Apa dia pacarmu, Dit?"

Arya selalu datang berkunjung? Itu berati dia melihatku, melihat siapa diriku sebenarnya. Dan dia tetap menjengukku. Oh Tuhan, aku tahu semua rahasiaku pada akhirnya akan terbongkar, tapi sama sekali aku tidak pernah menyangka Engkau menciptakan alur cerita seperti ini untuk membuka rahasiaku pada Arya.

"Dit, dia pacarmu?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

"Bukan, Bu. Dia hanya teman."

"Ibu pikir dia itu pacarmu, dia terlihat begitu khawatir melihatmu. Dan setiap kali dia memandangmu, ibu merasakan seperti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan."

Ya, pastinya banyak sekali pertanyaan yang ada dikepalanya begitu mengetahui bahwa sahabatnya ini adalah seorang wanita.

***
Arya melihatku yang berdiri didepan pintu kamar kost kami tanpa ekspresi. Wajah yang dulu selalu terukir senyum kini terlihat datar melihatku kini, yang sudah melepaskan penyamaranku dan berdiri dihadapannya dengan jati diriku yang sebenarnya.

"Hai." ucapku dan dia tetap diam. "Gue tau lo pasti marah banget sama gue, kan? Gue bener-bener minta maaf selama ini gue udah ngebohongin lo. Gue..."

"Mau ngapain lagi lo kesini?" tanyanya memotong kata-kataku. Aku sudah siap kalau pada akhirnya orang yang sangat kucintai ini akan membenciku.

"Gue cuma mau ambil barang-barang gue."

Arya menggeser langkahnya untuk memberiku jalan. Sedih sekali rasanya, aku seperti orang bodoh, benar-benar bodoh. Aku tahu, seberapa banyak aku mengucapkan maaf, tidak akan membuat Arya memaafkanku.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba.

"Apa?"

"Kenapa lo lakuin semua ini? Nyamar jadi cowok, selama dua tahun kita bersahabat dan selama itu juga gue dibegoin sama lo. Itu sebabnya lemari baju lo selalu dikunci, itu sebabnya lo ga pernah ijinin gue pinjem hape lo, itu sebabnya lo payah banget dalam semua bidang olahraga, itu sebabnya lo selalu pake pakaian tertutup, itu sebabnya suara lo lebih cocok jadi suara perempuan. Kenapa, Dit? Kenapa lo ngebohongin gue selama ini?!" kata Arya terdengar begitu frustasi.

"Karena gue jatuh cinta sama lo sejak tiga tahun yang lalu." jawabku sambil memandang lurus kematanya.

"Tiga tahun yang lalu? Tapi kita baru dua tahun..."

"Tiga tahun yang lalu sejak ada acara donor darah, gue jadi salah satu petugas yang mengambil darah dari para sukarelawan, disitu pertama kali gue ketemu sama lo, dan sejak saat itu gue jatuh cinta sama lo sampai detik ini. Itu sebabnya gue nekat keluar dari sekolah bidan gue cuma untuk bisa satu kuliah sama lo, gue nekat nyamar jadi cowok cuma untuk bisa selalu ada dideket lo, gue nekat ikut semua ekskul yang lo ikutin walaupun gue payah banget dalam bidang olahraga. Gue cuma pengen lo ngeliat gue. Gue tau pada akhirnya lo akan tau siapa gue dan gue juga tau apa resiko yang harus gue terima. 
Dua tahun gue bersembunyi pada akhirnya gue harus keluar dari persembunyian gue. Gue ga pernah menyesali apa yang sudah terjadi atau sampai kapan pun lo ga akan maafin gue. Gue sangat bersyukur Tuhan memberikan waktu yang cukup lama buat gue untuk selalu ada dideket lo."

Arya hanya diam, aku bisa merasakan tatapan mata Arya yang begitu tajam seperti menusuk langsung dihati dan jantungku. Rahangnya mengatup begitu keras, seperti menahan emosi yang meluap. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

"Gue bener-bener minta maaf, Ar. Gue janji, ini...terakhir kalinya lo ketemu gue. Makasih untuk persahabatan yang pernah ada diantara kita." Dengan hati dan langkah yang berat, aku melangkah keluar dari kamar kost kami dengan gontai. Berharap (sangat berharap) dia akan memanggilku kembali dan menarikku kedalam pelukkannya. But it's just my wish.

Dia tetap membiarkanku melangkah pergi.

***

Satu minggu kemudian.

"Harum donat yang baru matang itu selalu mengingatkanku pada sahabatku, lelaki berbadan kecil, payah berolahraga namun pintar merawat orang sakit dan jago sekali membuat donat." Suara Arya tiba-tiba terdengar dibelakangku. Aku langsung berbalik secepat kilat, tetap memegang erat nampan berisi donat-donat yang baru matang.

Aku hanya bengong melihatnya berdiri disana, dengan senyum jahil yang masih sama dia melihatku.

"Boleh minta satu donatnya, Mba?" tanyanya sambil menyomot satu donat tanpa menungguku menjawabnya. Aku masih diam terpaku. Terlalu kaget atau terlalu senang aku melihatnya berdiri disana.

"Enak." ucapnya. "Saya punya sahabat, namanya Radith. Dia laki-laki tapi punya postur tubuh yang kecil. Dia selalu jatuh setiap kali main bola, payah sekali dia dalam olahraga apapun. Tapi, dia begitu cekatan merawat orang sakit dan pintar sekali membuat donat. Saya selalu suka donat buatannya." katanya sambil mengunyah dan terus memandangku. Tatapan yang aku rindukan setiap saat. Suara yang selalu menemaniku setiap kali aku tertidur dan wajah yang selalu menghiasi mimpiku.

"Kita belum kenalan, ya? Saya Arya." dia menjulurkan tangannya kearahku. Aku langsung meletakkan nampan yang kubawa sedari tadi diatas meja pantry dan membalas uluran tangannya.

"Raditha." ucapku. "Apa kabar, Ar?" tanyaku akhirnya. Dia hanya tersenyum dan aku masih merasakan tangannya yang menggenggam tanganku.

Dia menarikku pelan untuk mengikutinya. Kami duduk didepan kios donat kecil milik keluargaku. Dia masih menggenggam tanganku saat kami sudah duduk diatas bangku rotan.

"Ar, aku minta maaf." ucapku, masih tersimpan perasaan bersalah.

"Aku baru tau, kamu nih ternyata punya hobi minta maaf, ya." katanya sambil tersenyum jahil. "Aku kesini bukan untuk ngedengerin kamu minta maaf. Tapi ada yang mau aku omongin ke kamu."

"Apa?"

"My confession."

"I'm listening."

"Pertama, kamu itu kejam, Dit. Kamu tau gimana tersiksanya aku menahan perasaan yang seharusnya ga aku rasakan pada sahabatku sendiri? Aku hampir gila karena aku berfikir kalau aku ini...homo. Aku berusaha untuk tetap menyadarkan diriku bahwa aku ga boleh jatuh cinta pada Radith. Tapi seperti ada sesuatu didalam diri Radith yang terus memaksaku untuk masuk jauh, sampai pada akhirnya aku menyerah dan aku menyadari bahwa aku mencintai sahabatku, Radith. Dan aku harus menelan kenyataan bahwa aku menjadi seorang gay. Kedua, untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya, aku bercerita palsu sama kamu. Kamu ingat aku sering cerita kalau aku sedang dekat dengan seorang wanita?"

Aku mengangguk. Ya, aku masih selalu ingat cerita-cerita dia tentang bagaimana senangnya dia setiap kali menghabiskan waktu dengan wanita itu.

"Sebenarnya yang kuceritakan itu adalah sosoknya Radith yang kugambarkan menjadi seorang wanita, karena aku takut kamu akan beranggapan aku ini gay."

Aku menutup mulutku dengan tanganku yang bebas, karena Arya masih terus menggenggam tanganku yang satunya.

"Dan ketiga, kamu tau, gimana kagetnya aku saat aku tau kalau Radith, sahabatku yang aku cintai adalah seorang perempuan. Begitu banyak pertanyaan dalam kepala saat kamu belom sadarkan diri. Kecewa, khawatir dan takut bercampur jadi satu. Tapi begitu sangat lega saat melihat kamu akhirnya sadar."

"Keempat, aku menyesal karena membiarkanmu pergi saat itu. Tapi aku memang butuh waktu untuk mencerna semua penjelasanmu didalam otakku. Dan aku sudah yakin dengan apa yang ada dihatiku sekarang dan selamanya."

"Dan..." aku menggantungkan ucapanku dengan jantung yang berdegup sepuluh kali lebih cepat.

"Dan aku yakin sekarang kalau aku ini lekaki normal," katanya sambil tersenyum menggoda dan perlahan mendekatkan wajahnya kewajahku. "yang mencintai seorang gadis yang membuatku hampir gila."

Dia mengangkat wajahnya dan mengecup keningku lalu berbisik. "I love you."

And I know now, that this is not just my wish, but this is a dream that come true.


I just love you, and I don't need any reason for it.


Original Cerpen by : Kiky






Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...