Halaman

Kamis, 14 Februari 2013

Waiting for Mr. Jerapah - Part 1

Tidak ada yang lebih indah dari hari ini. Kenapa? Karena aku terlambat dan harus disetrap di tengah lapangan bersama murid-murid lain yang juga terlambat. Ooh...bukan karena disetrap yang membuatku begitu mensyukuri hari ini, tapi karena dia juga datang terlambat. Yeeey!! Dan saat ini dia berdiri di sampingku, tubuhnya yang tinggi menjulang melindungiku dari sinar matahari yang panas sekali pagi itu. Yaah, walaupun aku tau, ini hanya sebuah kebetulan. Dan ini adalah kebetulan yang sangat indah. Ah...rasanya aku ingin lompat saking senangnya. Atau...aku akan lompat untuk mencium pipinya, sebagai ucapan terima kasihku...
"Heh, kenapa senyum-senyum sendiri? Disetrap kayak gini nggak ngebuat otak lo jadi konslet, kan?"

Glekk! Sangat terlihatkah senyum-senyumku?? Haduuuh, bodohnya!

"Nggak lah. Eng...gua lagi pengen senyum-senyum aja. Kenapa? Nggak boleh?" tanyaku sambil mendengakkan kepalaku untuk melihat wajahnya.

"Terserah." jawabnya cuek. Ya, dia memang selalu cuek, cueknya setengah mati. Sikapnya yang dingin membuat semua orang yang berada didekatnya seperti berada didekat Dementor*, kecuali diriku. Mungkin karena mantra Patronus*-ku sangat ampuh. Hahaha.

Well, dia bukan Dementor dan aku juga bukan ahli sihir seperti Harry Potter. Aku dan Jovan adalah sahabat, sahabat dari kami masih sama-sama ingusan dan mengejar layangan di lapangan tanah merah belakang rumah kami. Dan sekarang, tujuh belas tahun berlalu, kami tumbuh menjadi angsa...ehhm...ralat, hanya dia yang tumbuh menjadi angsa nan rupawan, sedangkan aku, tetap si itik buruk rupa.


Setidaknya sampai detik ini dia masih menganggapku sebagai sahabatnya, kami masih bersahabat, dan dia tidak pernah tau perubahan rasa dalam hatiku, entah dimulai sejak kapan, namun perubahan rasa itu terus berkembang sampai detik ini dan detik-detik berikutnya. Aku ini terlalu tau diri untuk tidak menyatakan rasaku padanya, aku dan dia itu seperti langit dan selokan! Masih beruntung sampai sekarang dia masih menganggapku sahabatnya. Setidaknya, menjadi sahabatnya itu berarti aku tau apapun tentang dirinya, dan ya, aku memang tau semua tentang dirinya. Dan hal itu membuatku satu level atau berpuluh-puluh level di atas cewek-cewek cantik yang berusaha mendapatkan perhatian dari Jovan.

"Heh, gua nggak bisa selamanya berdiri di samping lo supaya lo nggak kepanasan kayak tadi, jadi mau sampe kapan lo berdiri di situ?" Jovan sudah berdiri di depanku sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya sambil melihatku.

"Udah bubar, ya?" tanyaku dengan polosnya.

"Kalo lo mau lanjut terus sampe pulang sekolah, sih, silahkan aja. Gua mau masuk kelas duluan." jawabnya sambil melengos. Buru-buru aku menarik tasnya ranselnya yang menggantung asal di bahu kanannya.

"Kok lo nggak ngasih tau gua, kalo disetrapnya udahan?"

Dia kembali menatapku. Oh Tuhan, aku paling tidak bisa ditatap seperti itu olehnya.

"Lo sejam tadi disetrap cuma senyum-senyum aja, besok gua anterin, lah, ke pskiater." katanya sambil mengetuk-ketukkan telunjuknya pelan ke keningku. Kemudian berbalik begitu saja seenaknya.

Eh, tunggu dulu, dia bilang tadi kalo dia nggak bisa selamanya berdiri di sampingku supaya aku nggak kepanasan kayak tadi? Aku nggak salah dengar, kan? Apa aku boleh melompat-lompat sekarang??

***

Tau apa yang paling menyakitkan dari menyukai sahabat sendiri? Adalah saat dia berjalan di depanmu bergandengan tangan dengan pacarnya. Adalah saat kamu menjadi tempatnya bercerita tentang malam minggunya. Adalah saat dia jalan-jalan dengan pacarnya. Seperti aku yang hanya bisa merenungi nasib sendirian di dalam kamar. Tapi aku tidak menyesali perasaan sukaku terhadap Jovan. Setidaknya, perasaan ini yang membuat hariku nyata. Entah sampai kapan aku akan terus menunggunya seperti ini. Menunggunya kembali, menunggunya sampai dia menyadari perasaanku ini sudah begitu besar untuknya.

"Ngeliatin apaan sih?"

Aku nyaris terjengkal dari kursi belajarku. Jovan sudah berada di sampingku, sedikit membungkukkan tubuhnya untuk ikut melihat apa yang sedangku lihat juga. Buru-buru aku alihkan perhatianku dari foto aku dan dirinya yang kupajang di atas meja belajarku.

"Kapan lo dateng?"

"Kemaren." jawabnya asal sambil kembali menegakkan tubuhnya.

"Kok gua bisa nggak denger lo masuk?"

"Oh, soalnya gua melayang."

"Jovan!"

Dia tertawa melihatku kesal. Dan...oh Tuhan Yang Maha Esa, aku suka sekali melihatnya tertawa. Dan dia senang sekali membuatku kesal.

"Jalan-jalan yuk." Ajaknya.

"Hah? Bukannya lo abis jalan sama pacar lo?"

"Bosen. Yuk, nggak usah ganti baju segala. Nih, pake jaket gua." Dia memberikan jaket jinsnya kepadaku.

"Hah?"

"Hah-hoh-hah-hoh. Buruan ah!" Dan dia langsung menarikku keluar dari kamar.

"Tapi gua kayak pembantu gini. Yang ada nanti lo malah diketawain orang, dikirain jalan sama pembantu."

"Ck, orang yang berani ngetawain gua harus langkahin dulu mayat..."

"Lo?"

"Kucing."

Gantian aku yang tergelak.

Hei, coba aku ingat lagi, apa tadi dia bilang, dia bosan?

Tahu bagian yang paling menyenangkan dari menyukai sahabatmu yang menyukai perempuan lain? Adalah saat sahabatmu mulai bosan dengan perempuan itu. Apa aku boleh melompat juga?

***

Aku tidak pernah merasakan dadaku sesesak ini. Bahkan aku tidak bisa menghentikan air mataku yang terus saja mengalir membasahi pipiku. Dan aku juga belum pernah melihatnya memandangku sesendu itu. Aku pikir, selama ini aku ingin sekali cepat-cepat lulus sekolah, tapi kelulusan ini ternyata hanya membawaku pada perpisahan dengannya. Rasanya masih tidak rela membiarkannya pergi melanjutkan sekolah di negeri orang. Kalau saja jarak antara Jakarta dan Armsterdam hanya satu jam perjalanan dan tidak perlu naik pesawat terbang, mungkin dadaku tidak akan sesesak ini. Kalau saja perempuan itu tidak perlu ikut melanjutkan sekolah yang sama dengan Jovan, mungkin aku akan sedikit merelakan kepergian Jovan.

Aku memeluknya, aku memeluknya di tengah keramaian bandara pagi itu. Aku memeluknya di depan perempuan itu. Mungkin Jovan hanya menganggap pelukkanku sebagai perpisahan sebagai seorang sahabat. Ahhh....seandainya Jovan tahu apa yang aku rasakan.

"Waiting for me. Okay?" Itu adalah kalimat terakhirnya sebelum dia berbalik badan dan menghilang dari pandanganku.

Dan jawabanku...I always waiting for you, my Mr. Jerapah.




Original Cerbung by Kiky


Gambar ambil asal dari Mbah Google :)



*Dementor : Penjaga penjara Azkaban dalam film Harry Potter
*Patronus : Mantra untuk mengusir Dementor





Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...