Halaman

Rabu, 06 Maret 2013

Waiting for Mr. Jerapah. - Part 2

Seperti kemarau yang merindukan hujan, atau seperti pungguk merindukan bulan, atau seperti menunggu air laut yang berubah menjadi manis istilah yang tepat untuk mendeskripsikan penantianku pada Jovan. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun aku buang waktu dan umurku untuk menantinya, menantinya datang lagi, menantinya untuk melihat hatiku yang selalu kusimpan rapih dalam ruang di sudut hatiku yang kosong.

Empat tahun aku menanti kabar darinya, empat tahun aku rutin mengunjungi kebun binatang hanya untuk melihat jerapah (yang aku ibaratkan itu adalah dirinya), empat tahun aku merindukan canda tawa kita. Apa dia merindukanku juga? Setidaknya, apa dia merindukanku juga sebagai sahabat?

Ah...aku nyaris lupa, dia bersama perempuannya, bersama Intan-nya. Perempuan cantik yang sangat sempurna. Perempuan cantik yang disukainya. Intan, sesuai namanya.

Apakah ini bisa disebut bodoh?

Harusnya aku menjadi seseorang yang paling beruntung karena menjadi satu-satunya sahabatnya. Seharusnya aku menjadi satu-satunya seseorang yang paling beruntung karena menjadi satu-satunya orang yang menjadi 'tempat sampah'nya. Mengetahui sisi-sisi lain dari dirinya yang selama ini tampak dingin dari luar. Tapi kenapa aku merasa yang paling jauh darinya?

Heeey, aku rindu! Kamu tahu itu? Aku rindu kebersamaan kita! Aku rindu kejahilanmu, aku rindu suaramu, senyummu, tawamu. Sial! Aku rindu semua tentangmu!

***

Empat tahun aku menantikan kabar kepulangannya, ya, kabar itu selalu aku nantikan. Tapi tidak seperti ini, tidak dengan keadaannya yang seperti ini. Bukan tatapan mata kosong itu yang aku tunggu selama empat tahun. Bukan dirinya yang terdiam penuh luka.

***


Hampir satu tahun setelah sekembalinya Jovan ke Indonesia, apakah dia sadar bahwa aku selalu datang hanya untuk menemaninya, hanya untuk menceritakan kenangan-kenangan aku dan dia semasa SMA, dan hanya untuk dicuekin olehnya. Tapi aku tetap datang, datang dengan membawa senyum walaupun hatiku pilu melihatnya seperti ini.

Aku mengoleskan krim pada rahangnya yang sudah mulai tertutupi jenggot. Jovan sama sekali tidak bereaksi. 

Tuhan...perih sekali rasanya meihat Jovan - sahabatku - orang yang paling kusukai - seperti tidak bernyawa seperti ini. Aku mulai mencukur jenggotnya perlahan dengan pisau cukur. Aku dapat melihat Jovan menatapku, memandangku dengan tatapannya yang kosong. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak tumpah ruah dihadapannya.

Tuhan...aku benar-benar merindukan Jovan yang dulu. Jerapah-ku yang dulu.

***

"Jovan? Lo mau kemana?" Ada perasaan kaget dan sekaligus senang melihat perubahan Jovan yang drastis. Dengan semangat dia merapihkan penampilannya di depan cermin kamarnya. Namun ada perasaan aneh yang menyelubungiku.

"Gua udah ganteng belom?" tanyanya sambil merapihkan rambutnya yang mulai agak gondrong.

"I-iya udah. Memangnya lo mau kemana?"

"Lo temenin gua, yuk, kita ke bandara."

"Bandara? Ngapain?"

"Jemput Intan."

JLEB!

Perasaanku seperti dihantam godam. Sedih sekali rasanya mendengar Jovan dengan semangat yang menggebu menjemput Intan.

"Tapi, Jo..."

"Yuk buruan, nanti kita telat." Jovan langsung menarik tanganku.

***

Hampir dua jam, aku melihatnya mondar-mandir sambil sesekali melirik jam tangannya. Menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang lagi. Ingin sekali aku mengguncangkan tubuhnya atau menamparnya sekalian.

"Dia pasti dateng. Dia pasti dateng." Racaunya terus menerus.

"Jo, kita pulang yuk. Udah sore."

"Tapi nanti kalo Intan dateng, gimana?"

"Dia nggak akan dateng, Jovan."

"Kok lu tau? Intan kasih tau lu?"

Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulutnya, membuat hati kecilku rasanya teriris. Sakit sekali.

 ***

Hampir setiap harinya Jovan melakukan hal yang serupa, mengajakku ke bandara untuk menemaninya menunggu Intan datang. Dan setiap harinya pula dia selalu meracau. Dan setiap pulang dari bandara, pandangannya akan kembali kosong. Jiwanya kembali tersedot ke...entah ke belahan bumi bagian mana.

Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya terus-terusan berharap dan menanti dalam penantian yang hanya akan membawanya terus kedalam keterpurukan. Tidak! Aku tidak akan membiarkan Jovan terus menerus seperti ini! Sudah saatnya Jovan harus menerima kenyataan yang ada.

"Yuk." ucapnya seraya menarik tanganku, namun kali ini aku berusaha sekuat hati untuk menepisnya. Jovan mengangkat kedua alis matanya. "Lu kenapa?"

"Lu yang harusnya kenapa!" Balasku.

"Kalo lu nggak mau temenin gua ke bandara, nggak apa-apa. Tapi nggak perlu lu sampe marah-marah gini!" Jovan balas meneriakiku.

Tuhan...kuatkan aku...

"Sekarang gua tanya sama lu, mau ngapain lu setiap hari ke bandara? Ha? Nunggu Intan? Trus apa Intan akhirnya muncul? Nggak kan! Sadar Jovan, Intan udah nggak ada! Mau sampe kapan lu kayak gini?!"

"Gua nggak suka lu ngomong kayak gitu." Jovan menekankan setiap katanya. "Intan pasti datang."

"Sampai lu berlumut nungguin Intan di sana, dia nggak akan pernah datang lagi, Jo." Aku menarik tangan Jovan dan memberikan padanya potongan artikel dari sebuah koran yang dulu pernah aku simpan. Sebuah artikel tentang kecelakaan pesawat dari Armsterdam menuju Indonesia. Aku stabilo, aku garis bawahi dan aku lingkari nama Intan Gianina yang tertulis di sana sebagai salah satu korban tidak selamat dari kecelakaan naas itu.

"Terima kenyataan, Jo. Kenyataan memang terkadang terlalu menyakitkan, tapi ini hidup, kita hidup dengan menerima kenyataan dan menjalani hidup dengan melakukan yang terbaik. Hidup ini bukan mimpi, hidup adalah realita yang harus kita hadapi, bukan kita sembunyikan, bukan kita hindari."

Jovan masih termangu, tatapannya masih lurus pada potongan artikel yang kuberikan. Dia tidak berkata sepatah kata pun. Dia juga tidak memandangku. Aku harap, ini adalah tindakanku yang benar.

***

Dua jerapah dewasa dan satu anak jerapah yang lucu. Aku nggak pernah bosan memandangi hewan menakjubkan itu. Mereka terlihat begitu tenang dan tentram. Aku harus mendengakkan kepalaku untuk melihat kepalanya, seperti aku harus mendengakkan kepalaku saat aku ingin melihat wajah Jovan.

Jovan....

Apa kabarnya dia sekarang. Sudah satu minggu lebih aku tidak datang mengunjunginya.

"Hei...masih suka ngeliatin jerapah?"

Sebuah suara diantara suara riuh kebun binatang yang sangat terdengar begitu jelas di gendang telingaku. Dia berdiri di sampingku, dengan gayanya yang dulu sangat kurindukan, sorot matanya yang sudah kembali menunjukkan isinya, senyum jahil yang masih selalu kuingat.

"Empat tahun yang lalu seseorang minta gua untuk menunggunya."

"Well, apa dia udah kembali?"

"Ya. Dia sudah kembali seutuhnya."



-FIN-




 Original Cerbung by Kiky
Gambar copy asal di Google ;)




 

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...