Aku ini pencinta warna hitam, bukan fanatik, aku hanya menyukai hitam, tanpa alasan. Seperti banyak teman yang sering bertanya kepadaku, mengapa aku menyukai warna gelap yang pekat itu. Dan yang kujawab, "Entahlah, aku hanya menyukainya.". Sama seperti, mengapa aku menyukai hujan. Disaat banyak orang sesama penyuka hujan mempunyai begitu banyak alasan untuk menyukai tetesan-tetesan air dari gumpalan awan kelabu itu, aku malah tidak mempunyai satu alasan apapun. Dan hal ini juga kualami kepada seorang wanita yang kutemui kurang dari satu jam. Menit-menit yang sangat berharga.
Tentu saja awalnya yang membuat kedua bola mataku bergerak untuk memperhatikannya adalah kemeja polos berlengan panjang yang digulung hingga siku berwarna hitam. Begitu kontras dengan kulitnya yang pucat. Rambut hitam yang tergerai bergelombang dengan bando yang menarik bagian depan rambutnya. Dia duduk pada salah satu bangku di kedai kopi yang padat saat hujan seperti ini.
"Pesan apa, Mas?" tanya seorang barista. Buru-buru kurebut lagi kesadaranku.
"Esspreso."
Dan mungkin ini yang disebut dengan 'kebetulan'. Satu-satunya kursi kosong adalah kursi yang berada satu meja dengan wanita itu. Entah apa yang membuat jantungku berdetum-detum.
Kepalanya mendongak dari sebuah novel yang sedang dibacanya begitu aku berdiri di samping mejanya.
Manis.
"Maaf, kursi ini kosong? Karena semuanya sudah penuh." tanyaku. Dia melepas sebelah earphone yang tersemat pada salah satu lubang telinganya.
"Ya." jawabnya ringan, dengan membubuhkan senyum ramah dan membuat kedua matanya menyipit.
Bulu-bulu halus pada tengkukku meremang, bukan karena horor, melainkan sesuatu lain yang aku sendiri tidak tahu.
Kuabaikan perasaan aneh itu. Kutarik kursi di depannya, duduk berhadapan dengannya.
Dia mengoyang-goyangkan kepalanya pelan, seperti menikmati musik yang terdengar dari earphone satunya yang masih tersemat pada telinganya yang lain.
"Pulang kuliah?" tanyaku menebak-nebak, melihat kets yang dipakainya dan ransel coklat yang teronggok di samping kakinya, sekaligus membuka percakapan dengan 'teman' semejaku.
Dia kembali tersenyum, dan lebih lebar, membuat matanya semakin sipit hingga nyaris segaris. Dia menggeleng, "Pulang kerja."
Tebakanku meleset. Aku tersenyum kecut sekaligus takjub. Kulirik sekali lagi sepatu kets yang dipakainya.
"Hari ini dapat shift pagi di toko kaset tempat aku kerja. Nggak mungkin, kan, pake sepatu beginian di kantoran." Dia tergelak.
Aku tersenyum semakin kecut.
Oke, dia tahu betul isi kepalaku.
Seorang pelayan datang membawakan Esspreso panas pesananku.
Kulirik gelas tinggi yang berembun dengan isinya yang tinggal setengah. "Biasanya kebanyakan orang lebih suka minum yang hangat-hangat disaat hujan seperti ini."
Dia menyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapih.
"Berarti aku bukan salah satu dari kebanyakan orang. Entahlah, aku lebih suka menikmati iced coffee disaat hujan seperti ini."
Lucu sekali.
Entah dimana titik kelucuan dari orang yang menyukai menikmati minuman dingin disaat suhu dingin sudah membuat tubuh menggigil. Mungkin kebanyakan orang akan menilai wanita di depanku ini aneh. Dan aku ini mungkin bukan bukan dari kebanyakan orang, karena justru menganggapnya lucu.
Apa ini disebut kebetulan atau aku hanya kegeeran saja? Karena aku dan dia sama-sama bukan dari kebanyakan orang.
"Dan membaca novel disaat hujan juga kesukaanmu?"
Dia tersenyum takjub memandangku. "Kamu pasti bisa meramal, ya?"
Gantian aku yang tergelak. Melihat aku yang tergelak, dia pun ikut tergelak. beberapa pengunjung yang duduk tidak jauh dari tempat kami memandang kami dengan penasaran, ada juga yang memandang kami dengan tak acuh.
"Hanya menebak." jawabku usah tawaku yang mereda.
"Tebakanmu jitu."
Dan terciptalah obrolan-obrolan tidak penting seputar kopi, hujan, buku dan musik yang mengakrabkan aku dan dirinya. Bulu-buluku tidak hentinya meremang setiap kali dia tertawa atau hanya sekedar tersenyum. Ingin sekali rasanya kulahap bulat-bulat senyum yang begitu menawan dalam pandangan mataku.
Tetesan hujan diluar kedai pun mereda sampai tidak ada satu pun tetesan yang menetes dari awan yang mulai seputih kapas. Suara ringtone dari ponselnya menghentikan obrolan panjang kami yang tidak ada tujuannya.
"Apa? Kok bisa?" suaranya terdengar kesal. Senyum manis yang sedari tadi terlukis pada wajah tembamnya, berubah menjadi senyum masam, yang malah membuat wajahnya semakin menggemaskan. "Oke, oke, aku kesana sekarang."
Dia langsung memasukkan novel yang sedari tadi tidak terjamah selama obrolan kami ke dalam ranselnya. "Harus pergi sekarang. Untung hujannya berhenti." katanya menjelaskan.
"Em-ya, aku juga." Ini bukan ikut-ikutan. Mengingat ada hal lain yan harus kukerjakan, namun lepas dari hal lain yang harus kukerjakan, aku pikir tidak hal menarik lain yang dapat menahanku lebih lama di dalam kedai itu, sementara satu-satunya hal menarik itu sudah keluar dari kedai.
Buru-buru kukejar, mungkin aku bisa menawarkan jasa untuk mengantarnya dan mengkesampingkan dahulu hal lain yang harus kukerjakan. Namun harapanku terlalu tinggi rupanya. Kulihat dia sedang memakai helm di atas sebuah sepeda motor matic yang terparkir di sebelah sepeda motor kopling milikku.
Apa ini bisa disebut kebetulan?
"Sampai ketemu lagi, ya." katanya, tidak lupa membubuhkan senyumnya yang terakhir untuk kunikmati.
Suara deru mesin motor matic itu pun menjauh dan perlahan menghilang.
Aku menyadari satu hal. Aku begitu bodoh. Mengapa?
Karena di penghujung sore dengan latar belakang kedai kopi dilengkapi dengan aroma bau tanah basah sehabis hujan, aku sama sekali tidak mengetahui namanya.
Aku kembali suka, suka tanpa alasan.Aku menyukainya, bukan karena kemeja hitam yang dikenakannya, atau senyumnya yang membuat bulu-bulu halus pada tengkukku meremang, aku yakin bukan karena itu. Yang aku yakin, aku menyukainya, entahlah, tanpa alasan.
"Sampai ketemu lagi, kamu..."
Lady in black.
**FIN**
Cerpen by
Gambar dari sini


Tidak ada komentar:
Posting Komentar