![]() |
| here |
Aku hanya mengetuk dua kali pada daun pintu yang setengah terbuka setelah terdengar sahutan dari dalam. Si pemilik kamar. Dia dengan tubuhnya yang tinggi berbalut kaos oblong dan celana pendek selutut, duduk dengan menekuk kedua kakinya di atas bangku. Sebatang rokok filter terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, sementara jari-jari tangan kanannya sibuk mengklik mouse di samping keyboard hitamnya. Tatapan matanya masih fokus pada layar monitor di depannya.
"Katanya udah dua hari lu nggak tidur ya?" tanyaku, melihat lingkaran hitam di bawah matanya yang semakin kentara.
"Bumi masih berputar pada porosnya, kan, kalau pun gue nggak tidur seminggu." jawabnya dengan ekspresi yang selalu datar. Tapi memang begitulah dia. Seperti hanya mengenal satu ekspresi dalam hidupnya. Datar.
"Tapi lu juga harus tetap jaga kesehatan."
"Kesehatan itu urusan gue."
Aku menghela nafas panjang. Entah apa isi kepala dari lelaki di depanku ini, dan entah apa juga isi kepalaku sampai bisa-bisanya aku membagi sebagian hatiku untuknya. Dengan menerobos hujan yang udaranya menggigit hanya untuk mengutarakan kejujuran dari hatiku meskipun yang kudapat hanya sebuah, "Oh." dari bibirnya yang terselip sebatang rokok, malam itu.
Dia kembali menghisap asap beracun itu dan mengembuskannya lamat-lamat, seakan setiap molekul asap yang keluar dari bibirnya mempunyai cita rasa yang berbeda. Dia melirikku sebentar begitu mendengar suara batukku.
"Di luar aja, dari pada ntar lu sakit gara-gara asap rokok gue." katanya.
"Kesehatan itu urusan gue." Balasku.
Dia mendelik kepadaku, lalu ekspresinya kembali datar namun manik mata coklatnya itu memandang bergantian dari ransel yang bergelayut pada punggungku dan koper biru muda yang teronggok di samping kakiku.
"Mau kemana?" tanyanya. Dia kembali memfokuskan matanya pada layar monitor. Dan suara 'klik' beberapa kali terdengar.
"Ke bandara."
"Ngapain?"
"Gue ambil tawaran beasiswa di Austria."
Bisa kulihat, gerakan jarinya di atas mouse berhenti. Dari wajahnya yang nampak samping, rahangnya mengeras di bawah hidung bangirnya. Harapanku membuncah, dia akan menahanku untuk tidak pergi.
"Oh." Namun (lagi-lagi) hanya kata itu yang meluncur dari bibirnya.
Aku tersenyum kecut, menutupi rasa kecewaku. "Gue nggak tahu akan balik kapan." Lanjutku.
Dia tetap bergeming. Kembali dikliknya mouse itu sambil digeser ke kanan dan ke kiri.
Aku tidak boleh menangis! Ini salahku, karena memberikan hampir seluruh hatiku dengan cuma-cuma kepada lelaki yang hanya hidup dalam dunianya.
"Gue pergi ya. Jaga kesehatan lu ya, karena setelah hari ini, nggak ada gue lagi yang bakal maksa lu minum obat kalau lu sakit." ucapku dengan suara yang bergetar menahan tangis yang ingin sekali pecah.
Dia tetap bergeming.
Sudahlah, harapanku terlalu tinggi rupanya.
Dengan hati yang hancur dan pupus, aku menguatkan diriku untuk menjadikannya sebagai kenanganku saja. Sambil mengutuki diriku karena terlalu bodoh untuk menjatuhkan pilihanku kepadanya. Ya, aku si bodoh yang jatuh hati pada dia yang mungkin tidak pernah memikirkan soal hati seumur hidupnya.
Kulangkahkan kakiku sambil menyeret koper di belakangku keluar dari kamarnya. Keajaiban memang tidak pernah berpihak kepadaku.
***
Aku duduk dekat jendela. Menunggu beberapa saat sebelum pesawat besar ini mengudara. Ah, baru kuingat, aku tidak mempunyai satu lembar pun potret dirinya. Dia memang bukan tipe orang yang suka memotret dirinya. Dia si manusia tanpa ekspresi, bukan cover boy. Kecuali untuk KTP, itu pun karena terpaksa. Dan tiba-tiba aku takut, aku takut waktu yang bergulir akan menghapus memoriku dangan kejam dan menghapus satu-satunya potret dirinya yang tersimpan di dalam memoriku.
Tiba-tiba saja seseorang bertubuh tinggi dengan wangi mint yang segar, duduk begitu saja di bangku sebelahku yang sedari tadi memang kosong tak berpenghuni.
Dia!
Aku tersentak. Terkejut. Syok. Kaget. Dan melebarkan kedua mataku yang nyaris berair.
"Mana tangan lu?" katanya tiba-tiba sambil menengadahkan tangan kanannya di depanku yang masih syok.
"Untuk?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia meraih tangan kiriku, menggenggamnya erat, sangat erat, sehingga aku dapat merasakan denyutan nadinya yang menyentuh kulitku, dan membawanya ke depan dadanya yang bidang.
"Lu pikir gue bakal biarin lu sendirian di sana? Nggak akan." katanya, selalu dengan ekspresi datarnya. Kemudian dia menyandarkan punggung dan kepalanya pada sandaran bangku kami yang empuk, lalu memejamkan matanya. Tanganku masih dalam genggamannya yang tidak melonggar sedikit pun.
"Tapi lu..."
"Sssstt. Gue mau tidur."
Hei kali ini keajaiban berpihak kepadaku. Aku bahkan tidak mampu lagi menahan letupan-letupan kebahagiaan dalam hatiku. Ah, ya, ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mengambil potret dirinya. Dan betapa aku memuji diriku karena kecerdasanku yang menyimpan kamera digital pada saku jaketku. Kukeluarkan kamera kecil itu dengan tangan kananku yang bebas. Kumatikan blitz agar tidak membangunkannya.
"Cklek." Sial! Aku lupa mematikan suara shutternya.
"Nggak usah iseng." katanya. Tetap dengan matanya yang terpejam. Dan kali ini dia menggenggam tanganku dengan kedua tangan besarnya yang hangat, mendekap tangan kecilku di atas dadanya.
Sekarang aku tahu, dia, si manusia tanpa ekspresi ini mempunyai caranya sendiri untuk menunjukkan ekspresinya.
Original Cerpen by


Tidak ada komentar:
Posting Komentar