Halaman

Rabu, 09 Oktober 2013

To My Beloved.

here
Aku sudah sangat lama tidak bertemu apalagi berbincang dengannya. Pertemuan terakhir kami dibumbui pertengkaran hebat. Aku membuatnya menangis. Saat itu aku hanya melihatnya dari sudut tempat aku berdiri, melihatnya meneteskan air matanya karena aku. 

Ingin rasanya saat itu aku merengkuhnya, menenangkannya dan meyakinkannya. Tapi nyatanya, egoku telah menguasaiku bulat-bulat, dan membiarkan dia tersungkur mengelus dada dengan pipinya yang mulai basah.

Aku benar! Egoku meyakinkanku saat itu. Membuat hatiku keras, meyakinkanku bahwa ini adalah hidupku. 

Pilihanku.

Hingga aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan dia, meninggalkan mereka untuk memilih seseorang lain, seseorang yang membuatku buta, membuatku tuli, membuatku kehilangan akal sehat, membuatku bertindak bodoh, membuatku menyesal...

Apa yang telah kulakukan?

Lima tahun setelah pertemuan terakhir kami, aku merindukan hidupku bersama mereka. Bersama dia, aku merindukan tawanya, suaranya, omelannya, sentuhannya, aku merindukan bagaimana dia memainkan ekspresi saat bercerita. Bukan setelah lima tahun, melainkan selama lima tahun aku hidup dalam kesendirian dan tenggelam dalam kerinduan.

"Penyesalan memang selalu datang terlambat." ujar seorang lelaki tua yang kutemui tidak sengaja di depan toko bunga.

Aku tersenyum getir.

Aku baru saja membeli seikat bunga Lily. Bunga kesukaannya.

Rasa sesal ini mungkin tidak akan pernah berubah walau pun jaman semakin tua.

Aku melangkahkan kakiku perlahan. Berat sekali rasanya untuk menuju tempatnya. Sekuat tenaga aku menahan kumpulan air mata yang menggenang sehingga memburamkan pandanganku.

Aku tahu, ribuan kata maaf tidak akan mengubah apapun. Ribuan kata maaf tidak mengubah apa yang telah terjadi. Ribuan kata maaf tidak akan membuat hatinya pulih. Ribuan kata maaf tidak akan membuatku kembali bertemu dengannya.

Namun, air mataku tidak bisa bekerja sama dengan perintah otakku. Pipiku telah basah. Air mataku tumpah ruah membaca namanya pada batu nisan di atas gundukan tanah yang masih basah.

Namun aku tidak akan pernah bosan mengatakan ini walau pun kutahu dia mungkin tidak akan pernah bisa mendengarnya lagi.

"Aku sangat menyayangimu, mencintaimu. Kuharap kau menyadarinya. Sekali lagi, maafkan aku, Ibu. Kumohon, maafkan aku." 

Aku tersungkur di samping pusaranya, kuletakkan seikat Lily di atasnya.

Hidupku, bukan hanya hidupku. Hidupku adalah hidupnya juga. Seharusnya aku sadar itu. Dan hidupnya adalah hidupku. Kini, aku kehilangan separuh hidupku. Tidak akan pernah kembali lagi.

"Istirahatlah yang tenang, Bu. Kuberdoa, semoga para malaikat surga menemanimu di sana."


---


Original Cerpen by

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...