![]() |
| here |
Dalam benaknya banyak sekali kenangan yang terpendam dalam sebuah kotak yang sudah sangat usang dan berdebu. Sesekali dibukanya kotak tua itu untuk kembali mengingat lelaki itu, lelaki yang mampu menyerap semua kegelisahaannya hanya dengan sebuah senyuman simpul.
***
Perempuan itu hanya duduk sambil menunduk, memandang kedua tangannya yang gemetar.
"Dia memutuskanku." kata perempuan itu, juga dengan suara bergetar.
"Lalu?" tanya lelaki itu.
"Aku menamparnya."
"Bagus."
Perempuan itu mendelik pada lelaki yang duduk santai di sampingnya. Sebuah headset menyumpal sebelah telinganya, satunya lagi menjuntai di depan dadanya.
"Lihat, tanganku sampai-" Perempuan itu tidak melanjutkan kata-katanya. Lelaki itu sudah menggapai tangan perempuan itu, menggenggamnya erat, menghantarkan kehangatan dari tangan besarnya.
"Kamu akan baik-baik saja. Trust me. Ada aku." Lelaki itu tersenyum simpul.
Pelan namun pasti, perasaannya berangsur baik. Seperti terhipnotis, perempuan itu percaya tanpa ragu, dia akan baik-baik saja.
***
Udara lembab dan asin, angin yang berhembus menyapu kulitnya yang coklat, serta suara deburan ombak sore itu, duduk di tepi pantai, menunggu senja menampakkan warna-warnanya sambil memejamkan mata, mendengarkan apa yang dulu pernah mereka dengarkan bersama.
***
"Jadi jauh-jauh ke pantai cuma untuk duduk-duduk kayak gini saja?" tanya perempuan itu.
"Iya, juga sambil mendengarkan lagu." jawab si lelaki itu. Perempuan itu mengangkat kedua alis matanya.
"Tapi di sini nggak ada suara musik apapun. Kamu juga lagi nggak memakai headset dan i-pod. Hapeku juga lagi abis bat-"
"Ssst. Just close your eyes and listen." Lelaki itu mulai memejamkan matanya. Wajah dengan rahang yang tegas itu terlihat begitu tenang tertimpa sinar matahari senja. "Tutup matamu." Ulang si lelaki itu.
Perempuan itu menurut dan memejamkan kedua kelopak matanya.
"Apa yang kamu dengar?" tanya si lelaki, tetap dengan mata yang masih terpejam.
"Suara ombak." jawab si perempuan, juga dengan mata yang masih terpejam.
"Suara ombak adalah lagu alam yang paling indah dan paling merdu. Nggak akan ada dirigen mana pun yang bisa menyaingi kesempurnaan lagu alam ini."
Perempuan itu diam-diam membuka matanya, menatap lelaki yang duduk di sampinya masih memejamkan matanya. Dia tidak akan pernah melupakan pemandangan wajah ciptaan Tuhan itu.
***
Dia merapatkan sweaternya. Hembusan angin dari hawa hujan seperti ini membuat tubuhnya mengigil, namun dia tetap duduk di atas kursi teras rumahnya, menekuk kedua lututnya di atas kursi sambil sesekali menyeruput secangkir teh hangat.
***
"Jadi kamu hujan-hujan begini datang cuma untuk kasih ini?" Perempuan itu mengangkat sebuah buku diary kosong yang dibawakan oleh lelaki itu. Buku itu tidak seperti kebanyakan diary pada umumnya. Itu sebuah buku dengan sampul berwarna coklat polos dengan lembaran-lembaran putih polos tanpa garis-garis vertikal.
"Hei, aku membuatnya sendiri." jawab si lelaki itu sambil meletakan secangkir teh hangat setelah meneguknya di atas meja teras.
"Ini...kamu yang membuat buku ini?" Perempuan itu melebarkan matanya.
Lelaki itu mengangguk pelan. Tetesan air dari rambutnya yang basah menetes membasahi kaos yang membungkus tubuhnya yang tegap.
"Tapi untuk apa? Sekarang kan udah jamanya internet."
"Internet, kamu bisa membuat akunmu sendiri. Tapi buku itu, cuma aku yang bisa membuatnya."
"Tapi untuk apa?" tanya perempuan itu mengulangi.
"Untuk temani kamu selama aku nggak ada."
"M-maksud kamu?" Perempuan itu menatap lelaki yang duduk di sampingnya itu penuh selidik. Namun lelaki itu hanya tersenyum simpul, meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat.
"Tulis semua yang kamu rasakan di sana. Sedih, senang, marah. Dan aku akan ada di sana, mendengarkan. Seperti biasa."
***
Dia selalu menghindari jalan raya ini, jalan dimana bangunan rumah sakit besar itu berdiri. Tapi kemacetan ini membuatnya tidak bisa bergerak dan secepatnya pergi dari depan bangunan bercat putih itu. Dia mengeluarkan buku bersampul coklat polos itu dari dalam tasnya. Membuka halaman dimana tinta-tinta penanya berantakan karena bekas tetesan-tetesan air mata kala itu.
***
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal kami, tapi Tuhan berkehendak lain." kata lelaki paruh baya berjas putih itu.
Perempuan itu tidak percaya, dia langsung berlari masuk ke dalam ruangan di mana dokter tadi keluar.
Tubuh lelakinya terbujur di atas kasur. Wajahnya tenang seakan sedang tidur saja. Senyum simpul seakan terpeta pada wajahnya yang memucat.
"Bangun! Kamu jangan bercanda!" teriak perempuan itu sambil mengguncang tubuh lelaki itu. Namun matanya tetap terpejam. Perempuan itu tidak mampu lagi menahan air matanya yang menumpuk.
"Jadi itu alasanmu memberikanku diary buatanmu? Karena kamu mau meninggalkanku? Jahat! Kamu jahat! Kamu bilang, kamu akan selalu ada..." Dia terus menangis, memeluk tubuh dingin lelaki itu, berharap bisa kembali mendengar detak jantung itu.
Dia menuliskan semua yang dirasakannya pada diary itu, seperti yang dibilang lelakinya itu. Hancur, sedih, marah semuanya menyatu dalam dirinya. Tetesan-tetesan air matanya menetes di atas tinta-tinta pena yang baru saya digoreskannya di atas lembaran buku bersampul coklat itu.
***
Dear You,
Apa kabarmu di sana?
-----
Original Cerpen by Kiky


Tidak ada komentar:
Posting Komentar